30 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Tujuh Etnis Batak Tertuang dalam Batik

Memperingati Hari Batik

Sejak UNESCO mengakui batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan khas Indonesia dua tahun lalu, batik kini tak terpisahkan dari keseharian orang Indonesia. 2 Oktober kemarin pemerintah pun menetapkan hari batik nasional. Selama ini batik identik dengan Pulau Jawa. Namun kini Sumut juga wajib berbangga karena daerah punya corak batik dari berbagai etnis.

MEMBATIK: Karyawan membatik  perusahaan batik  Jalan Letda Sujono Gang Arhalim//donni/sumut pos
MEMBATIK: Karyawan membatik di perusahaan batik di Jalan Letda Sujono Gang Arhalim//donni/sumut pos

Melangkah masuk ke dalam sebuah rumah sederhana di Jalan Letda Sujono Gang Arhalim Kiri No 1 aroma tinta menyengat. Beberapa wanita tampak sibuk mengoleskan tinta panas yang disebut lilin malam ke kain batik. Cukup teliti dan sangat berhati-hati. Beberapa diantaranya tampak merebus kain.

“Ini hari (kemarin, Red) batik ya. Orang ini malah nggak ada yang ingat,” ujar Dra Nurcahaya Nasution, pengusaha batik khas Sumut menyambut kedatangan kami dengan ramah.

Bu Nur, akrab disapa pemilik Lembaga Keterampilan Pelatihan (LKP) Saudur Sadalanan. “Ini para pekerja. Ini diambil dari bahasa Mandailing. Sama-sama sejalan artinya,” katanya saat ditanya latar belakang nama itu diambil.

Wanita berusia 67 tahun ini pun mengawali kisahnya merintis usaha batik khas Sumut. Bahkan awalnya tak sedikitpun ia terpikir untuk terjun ke dunia batik.

“Sebenarnya dulu saya tidak tertarik. Padahal dulu waktu di Jogja ketika menantu saya kuliah saya pun tidak terpikir. Malah saya sempat latihan buat lilin. Tapi sejak dikirim Dekranas ke Bandung kami 20 orang dilatih membatik. Setelah itu dikasih dana oleh pemerintah dan mulainya usaha ini,” katanya.

Berbekal ilmu yang didapatnya. Nur diminta memberikan pelatihan membatiknya. Waktu itu Nur baru saja pensiun dari Dinas Kesehatan Deli Serdang.  “Saya langsung diminta melatih membatik. Padahal, saya merasa belum bisa kali. Tapi memang ilmu itu muncul dengan sendirinya. Memang sempat saya tekuni kembali dengan berlatih ke Jawa. Waktu itu ada pelatihan tenun sama batik,” lanjut Ibu empat anak itu.

Usaha dimulai dengan batik khas Medan di Jalan Bersama. “Awal mula di situ. Tapi sejak menantu saya berhenti bekerja saya minta dia ambil alih. Usaha itu tetap diteruskannya. Dari situ saya pindah ke tempat yang sekarang ini,” terangnya.

Nur pun mulai memikirkan corak batik yang bisa menjadi khas Sumut. Ia pun mulai mencari-cari desain-desain yang bisa mewakili etnis-etnis di Sumut. “Jadi saya pergi ke perpustakaan. Saya cari betul-betul corak-corak khas daerah. Kalau kebetulan nampak rumah orang dengan relief-relief juga kami foto-foto. Akhirnya kami ciptakan corak dari 7 etnis,” tambahnya.

Tujuh corak etnis antara lain Mandailing, Nias, Taput, Simalungun, Karo, Dairi, dan Melayu.”Awalnya pilihan warna pun tidak banyak. Tri warna kesukaan orang Batak itu merah, putih, hitam menjadi warna pilihan. Alhamdulillah sambutannya bagus. Sampai sekarang banyak yang suka. Meskipun bukan hanya sekedar etnis yang dicari,” ungkap nenek 12
cucu itu.

Dari masing-masing etnis, Nur mengakui proses paling rumit adalah corak Toba. “Tali-tali dari Toba itu sulur. Dari tumbuhan. Itu yang paling rumit,” katanya.

Kehadirannya batik Batak ini pun mulai diperhitungkan tidak hanya di wilayah Sumut. Namun juga mulai menyita perhatian para peminat batik se tanah air.  “Dinas Pendidikan yang ketika itu membuat perlombaan mempertanyakan apakah ada batik khas Sumut. Lalu Dekranas menunjukkan ke kita. Jadi kita ikutlah lomba. Kebetulan kita meraih juara Harapan 2 se-Indonesia,” ungkapnya.

Nur turut menjabarkan proses pengerjaan kain batik yang dimulai dari pemotongan kain hingga penggilingan kain menjadi halus. “Kemudian direbus, dimotif dulu, dicanting dan dicolet. Ada juga pewarnaan pertama, ditembok, diwarnai, dilorod. Kalau dulu ada proses mengemplong. Sekarang sudah punya gilingan jadi kainnya halus,” tambahnya.

Meskipun digemari, Nur tak mau jumawa mematok harga batiknya dengan harga tinggi. Rumah LKP Saudur Sadalanan menawarkan batik murah yang bisa terjangkau masyarakat baik batik tulis maupun batik cap. Batik tulis per 2,5 meter bisa diraih dengan merogoh kocek 200 ribu. Sementara untuk batik cap banyak digemari untuk kemeja pria maupun wanita seharga Rp120 ribu.

“Banyak yang bilang buat aja yg harga mahal. Tapi saya pikir yang murah yang dicari orang. Apalagi di Medan ini,” katanya.
Seiring perkembangannya, Batik Saudulur Sadalanan kini mulai berani menargetkan 1.000 potong batik perbulan. “Kami tentu harus punya target. Tapi paling yang selesai 850.Kalau dulu kami cuma buat kalau ada pesanan. Sekarang sudah ada stok,” katanya.

Nur pun melihat peminat batik ini terus bertambah.  Berbagai kalangan kini tak lagi malu menggunakan batik.  Pameran-pameran memperkenalkan batik sebagai warisan budaya terus diupayakan. Sesuai dengan visi dan misi yang tertulis di rumah batik itu untuk mengangkat corak ragam hias/motif etnis di sumut dan media batik dalam melestarikan sebagai warisan budaya bangsa.

“Udah semakin banyak orang minat. Instansi pun mulai ikut-ikut. Dinas-dinas juga mulai mesan. Termasuk sekolah-sekolah. Tapi selain memasarkan kita juga tetap aktif dengan pelatihan,” pungkasnya. (*)

Memperingati Hari Batik

Sejak UNESCO mengakui batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan khas Indonesia dua tahun lalu, batik kini tak terpisahkan dari keseharian orang Indonesia. 2 Oktober kemarin pemerintah pun menetapkan hari batik nasional. Selama ini batik identik dengan Pulau Jawa. Namun kini Sumut juga wajib berbangga karena daerah punya corak batik dari berbagai etnis.

MEMBATIK: Karyawan membatik  perusahaan batik  Jalan Letda Sujono Gang Arhalim//donni/sumut pos
MEMBATIK: Karyawan membatik di perusahaan batik di Jalan Letda Sujono Gang Arhalim//donni/sumut pos

Melangkah masuk ke dalam sebuah rumah sederhana di Jalan Letda Sujono Gang Arhalim Kiri No 1 aroma tinta menyengat. Beberapa wanita tampak sibuk mengoleskan tinta panas yang disebut lilin malam ke kain batik. Cukup teliti dan sangat berhati-hati. Beberapa diantaranya tampak merebus kain.

“Ini hari (kemarin, Red) batik ya. Orang ini malah nggak ada yang ingat,” ujar Dra Nurcahaya Nasution, pengusaha batik khas Sumut menyambut kedatangan kami dengan ramah.

Bu Nur, akrab disapa pemilik Lembaga Keterampilan Pelatihan (LKP) Saudur Sadalanan. “Ini para pekerja. Ini diambil dari bahasa Mandailing. Sama-sama sejalan artinya,” katanya saat ditanya latar belakang nama itu diambil.

Wanita berusia 67 tahun ini pun mengawali kisahnya merintis usaha batik khas Sumut. Bahkan awalnya tak sedikitpun ia terpikir untuk terjun ke dunia batik.

“Sebenarnya dulu saya tidak tertarik. Padahal dulu waktu di Jogja ketika menantu saya kuliah saya pun tidak terpikir. Malah saya sempat latihan buat lilin. Tapi sejak dikirim Dekranas ke Bandung kami 20 orang dilatih membatik. Setelah itu dikasih dana oleh pemerintah dan mulainya usaha ini,” katanya.

Berbekal ilmu yang didapatnya. Nur diminta memberikan pelatihan membatiknya. Waktu itu Nur baru saja pensiun dari Dinas Kesehatan Deli Serdang.  “Saya langsung diminta melatih membatik. Padahal, saya merasa belum bisa kali. Tapi memang ilmu itu muncul dengan sendirinya. Memang sempat saya tekuni kembali dengan berlatih ke Jawa. Waktu itu ada pelatihan tenun sama batik,” lanjut Ibu empat anak itu.

Usaha dimulai dengan batik khas Medan di Jalan Bersama. “Awal mula di situ. Tapi sejak menantu saya berhenti bekerja saya minta dia ambil alih. Usaha itu tetap diteruskannya. Dari situ saya pindah ke tempat yang sekarang ini,” terangnya.

Nur pun mulai memikirkan corak batik yang bisa menjadi khas Sumut. Ia pun mulai mencari-cari desain-desain yang bisa mewakili etnis-etnis di Sumut. “Jadi saya pergi ke perpustakaan. Saya cari betul-betul corak-corak khas daerah. Kalau kebetulan nampak rumah orang dengan relief-relief juga kami foto-foto. Akhirnya kami ciptakan corak dari 7 etnis,” tambahnya.

Tujuh corak etnis antara lain Mandailing, Nias, Taput, Simalungun, Karo, Dairi, dan Melayu.”Awalnya pilihan warna pun tidak banyak. Tri warna kesukaan orang Batak itu merah, putih, hitam menjadi warna pilihan. Alhamdulillah sambutannya bagus. Sampai sekarang banyak yang suka. Meskipun bukan hanya sekedar etnis yang dicari,” ungkap nenek 12
cucu itu.

Dari masing-masing etnis, Nur mengakui proses paling rumit adalah corak Toba. “Tali-tali dari Toba itu sulur. Dari tumbuhan. Itu yang paling rumit,” katanya.

Kehadirannya batik Batak ini pun mulai diperhitungkan tidak hanya di wilayah Sumut. Namun juga mulai menyita perhatian para peminat batik se tanah air.  “Dinas Pendidikan yang ketika itu membuat perlombaan mempertanyakan apakah ada batik khas Sumut. Lalu Dekranas menunjukkan ke kita. Jadi kita ikutlah lomba. Kebetulan kita meraih juara Harapan 2 se-Indonesia,” ungkapnya.

Nur turut menjabarkan proses pengerjaan kain batik yang dimulai dari pemotongan kain hingga penggilingan kain menjadi halus. “Kemudian direbus, dimotif dulu, dicanting dan dicolet. Ada juga pewarnaan pertama, ditembok, diwarnai, dilorod. Kalau dulu ada proses mengemplong. Sekarang sudah punya gilingan jadi kainnya halus,” tambahnya.

Meskipun digemari, Nur tak mau jumawa mematok harga batiknya dengan harga tinggi. Rumah LKP Saudur Sadalanan menawarkan batik murah yang bisa terjangkau masyarakat baik batik tulis maupun batik cap. Batik tulis per 2,5 meter bisa diraih dengan merogoh kocek 200 ribu. Sementara untuk batik cap banyak digemari untuk kemeja pria maupun wanita seharga Rp120 ribu.

“Banyak yang bilang buat aja yg harga mahal. Tapi saya pikir yang murah yang dicari orang. Apalagi di Medan ini,” katanya.
Seiring perkembangannya, Batik Saudulur Sadalanan kini mulai berani menargetkan 1.000 potong batik perbulan. “Kami tentu harus punya target. Tapi paling yang selesai 850.Kalau dulu kami cuma buat kalau ada pesanan. Sekarang sudah ada stok,” katanya.

Nur pun melihat peminat batik ini terus bertambah.  Berbagai kalangan kini tak lagi malu menggunakan batik.  Pameran-pameran memperkenalkan batik sebagai warisan budaya terus diupayakan. Sesuai dengan visi dan misi yang tertulis di rumah batik itu untuk mengangkat corak ragam hias/motif etnis di sumut dan media batik dalam melestarikan sebagai warisan budaya bangsa.

“Udah semakin banyak orang minat. Instansi pun mulai ikut-ikut. Dinas-dinas juga mulai mesan. Termasuk sekolah-sekolah. Tapi selain memasarkan kita juga tetap aktif dengan pelatihan,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/