26.7 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Yuddy Ngotot PHK PNS

ANTARA FOTO/Fanny Octavianus Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Yuddy Chrisnandi, tetap ngotot melakukan rasionalisasi PNS.
ANTARA FOTO/Fanny Octavianus
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Yuddy Chrisnandi, tetap ngotot melakukan rasionalisasi PNS.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi tak menggubris banyaknya protes yang dilayangkan kepadanya. Yuddy tetap ngotot melakukan rasionalisasi PNS dengan cara memensiunkan dini alias pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan dia menyebut, kebijakan pensiun dini PNS itu mendesak dilakukan.

Sikap Yuddy ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menegaskan pengurangan jumlah PNS hanya akan dilakukan secara alamiah, yakni pensiun. Kemarin, dalam dua kali kesempatan Yuddy membeberkan niatnya itu. Pertama di kantornya, kedua dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR. Dia menyebut, ada empat alasan yang mendasari keinginannya tersebut.

“Ada empat alasan utama kebijakan percepatan reformasi, yaitu aspek yuridis, sosiologis, teknokratis, dan geostrategis,” kata Menteri Yuddy dalam seminar Bakohumas di kantornya, Jakarta, kemarin (8/6).

Aspek yuridis, lanjut MenPAN-RB, sesuai amanat UU ASN kebijakan ASN harus berbasis sistem merit yakni berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja. Karena itu, untuk mewujudkan sosok ASN demikian dibutuhkan penataan yang holistik.

“Kami juga memiliki Roadmap Reformasi Birokrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan MenPAN-RB Nomor 11 Tahun 2015. Sasarannya adalah mewujudkan birokrasi yang bersih dan akuntabel, efektif dan efisien, serta birokrasi yang memiliki pelayanan publik yang berkualitas,” ujarnya.

Kedua, aspek sosiologis. Realita di lapangan saat ini masih banyak keluhan dan pengaduan dari masyarakat atas berbagai layanan publik yang diberikan oleh aparatur negara. Ada yang mengeluh layanannya lamban, berbelit-belit, serta masih ada pungutan liar.

Tentu keadaan ini harus disikapi segera dengan melakukan percepatan penataan di setiap jenjang jabatan dengan prioritas pertama untuk PNS yang memangku Jabatan Fungsional Umum (JFU) yang notabene banyak bertugas di ujung tombak pelayanan.

Salah satu yang menjadi sorotan masyarakat adalah masih rendahnya kualitas pelayanan publik yang terkait dengan kemudahan berusaha. Peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) Tahun 2016 Indonesia pada peringkat ke-109 dari 189 negara.

“Kinerja pelayanan publik pada sektor ekonomi harus ditingkatkan agar kemudahan berusaha mengalami perbaikan yang signifikan, perlu langkah terobosan dalam penataan aparaturnya,” ucapnya.

Ketiga, aspek teknokratis. Rata-rata belanja pegawai secara nasional (APBN dan APBD) mencapai 33,8 persen atau sebesar Rp 707 triliun lebih dari total belanja sebesar Rp2.093 triliun lebih di APBN.

Bahkan belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota, saat ini rata-rata lebih besar dari belanja publik. Ada sekitar 244 kabupaten/kota yang belanja pegawainya di atas 50 persen APBD. Karena itu, untuk memperbaiki perimbangan belanja pemerintah, khususnya pemerintah daerah, agar memiliki ruang fiskal yang lebih besar untuk belanja publik, harus ada efisiensi belanja pegawai dan harus ada rasionalisasi pegawai.

Keempat, aspek geostrategis.

“Sekarang kita sudah memasuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN, dimana kompetisi bukan hanya antar negara (globalisasi 1.0) dan antar sektor swasta (globalisasi 2.0), tetapi juga sudah antar individu warga negara (globalisasi 3.0). Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain kecuali meningkatkan daya saing bangsa kita,” paparnya.

Disebutkan, jumlah PNS di Indonesia saat ini sekitar tiga persen dari jumlah penduduk. Pemerintah menilai angka tersebut masih terlalu tinggi, sehingga harus dipangkas.

“Rasio PNS di Indonesia idealnya 1,5 persen. Jumlah penduduk kita hanya 250 juta orang, jadi tidak perlu dilayani empat jutaan PNS,” katanya.

Dia mengklaim, KemenPAN-RB telah melakukan perbandingan dengan negara-negara tentangga seperti Malaysia, Singapura, Tiongkok, dan lainnya. Bila jumlah PNS tidak dikurangi hingga ke angka 3,5 juta, dikhawatirkan negara akan mengalami kebangkrutan.

“Sebelum ketemu angka 3,5 juta, kami sudah melakukan hitung-hitung. Jumlah PNS yang kompetensinya kurang kan ada di jabatan fungsional umum. Nah jumlahnya itu sekitar 1,9 juta. Kalau diambil sejuta saja kan bisa mengurangi beban negara. Apa mau kita seperti Yunani yang mengalami kebangkrutan?” tandasnya.

ANTARA FOTO/Fanny Octavianus Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Yuddy Chrisnandi, tetap ngotot melakukan rasionalisasi PNS.
ANTARA FOTO/Fanny Octavianus
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Yuddy Chrisnandi, tetap ngotot melakukan rasionalisasi PNS.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi tak menggubris banyaknya protes yang dilayangkan kepadanya. Yuddy tetap ngotot melakukan rasionalisasi PNS dengan cara memensiunkan dini alias pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan dia menyebut, kebijakan pensiun dini PNS itu mendesak dilakukan.

Sikap Yuddy ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menegaskan pengurangan jumlah PNS hanya akan dilakukan secara alamiah, yakni pensiun. Kemarin, dalam dua kali kesempatan Yuddy membeberkan niatnya itu. Pertama di kantornya, kedua dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR. Dia menyebut, ada empat alasan yang mendasari keinginannya tersebut.

“Ada empat alasan utama kebijakan percepatan reformasi, yaitu aspek yuridis, sosiologis, teknokratis, dan geostrategis,” kata Menteri Yuddy dalam seminar Bakohumas di kantornya, Jakarta, kemarin (8/6).

Aspek yuridis, lanjut MenPAN-RB, sesuai amanat UU ASN kebijakan ASN harus berbasis sistem merit yakni berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja. Karena itu, untuk mewujudkan sosok ASN demikian dibutuhkan penataan yang holistik.

“Kami juga memiliki Roadmap Reformasi Birokrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan MenPAN-RB Nomor 11 Tahun 2015. Sasarannya adalah mewujudkan birokrasi yang bersih dan akuntabel, efektif dan efisien, serta birokrasi yang memiliki pelayanan publik yang berkualitas,” ujarnya.

Kedua, aspek sosiologis. Realita di lapangan saat ini masih banyak keluhan dan pengaduan dari masyarakat atas berbagai layanan publik yang diberikan oleh aparatur negara. Ada yang mengeluh layanannya lamban, berbelit-belit, serta masih ada pungutan liar.

Tentu keadaan ini harus disikapi segera dengan melakukan percepatan penataan di setiap jenjang jabatan dengan prioritas pertama untuk PNS yang memangku Jabatan Fungsional Umum (JFU) yang notabene banyak bertugas di ujung tombak pelayanan.

Salah satu yang menjadi sorotan masyarakat adalah masih rendahnya kualitas pelayanan publik yang terkait dengan kemudahan berusaha. Peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) Tahun 2016 Indonesia pada peringkat ke-109 dari 189 negara.

“Kinerja pelayanan publik pada sektor ekonomi harus ditingkatkan agar kemudahan berusaha mengalami perbaikan yang signifikan, perlu langkah terobosan dalam penataan aparaturnya,” ucapnya.

Ketiga, aspek teknokratis. Rata-rata belanja pegawai secara nasional (APBN dan APBD) mencapai 33,8 persen atau sebesar Rp 707 triliun lebih dari total belanja sebesar Rp2.093 triliun lebih di APBN.

Bahkan belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota, saat ini rata-rata lebih besar dari belanja publik. Ada sekitar 244 kabupaten/kota yang belanja pegawainya di atas 50 persen APBD. Karena itu, untuk memperbaiki perimbangan belanja pemerintah, khususnya pemerintah daerah, agar memiliki ruang fiskal yang lebih besar untuk belanja publik, harus ada efisiensi belanja pegawai dan harus ada rasionalisasi pegawai.

Keempat, aspek geostrategis.

“Sekarang kita sudah memasuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN, dimana kompetisi bukan hanya antar negara (globalisasi 1.0) dan antar sektor swasta (globalisasi 2.0), tetapi juga sudah antar individu warga negara (globalisasi 3.0). Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain kecuali meningkatkan daya saing bangsa kita,” paparnya.

Disebutkan, jumlah PNS di Indonesia saat ini sekitar tiga persen dari jumlah penduduk. Pemerintah menilai angka tersebut masih terlalu tinggi, sehingga harus dipangkas.

“Rasio PNS di Indonesia idealnya 1,5 persen. Jumlah penduduk kita hanya 250 juta orang, jadi tidak perlu dilayani empat jutaan PNS,” katanya.

Dia mengklaim, KemenPAN-RB telah melakukan perbandingan dengan negara-negara tentangga seperti Malaysia, Singapura, Tiongkok, dan lainnya. Bila jumlah PNS tidak dikurangi hingga ke angka 3,5 juta, dikhawatirkan negara akan mengalami kebangkrutan.

“Sebelum ketemu angka 3,5 juta, kami sudah melakukan hitung-hitung. Jumlah PNS yang kompetensinya kurang kan ada di jabatan fungsional umum. Nah jumlahnya itu sekitar 1,9 juta. Kalau diambil sejuta saja kan bisa mengurangi beban negara. Apa mau kita seperti Yunani yang mengalami kebangkrutan?” tandasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/