26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Wadah Deradikalisasi Anak-anak Mantan Teroris

Para santri tersebut berasal dari Kota Medan dan sekitarnya. Mereka merupakan anak-anak dari para pelaku terror.  “Seperti kasus penyerangan Polsek Hamparan Perak, pelatihan militer di Aceh dan lain-lainnya terkait kejadian teror,” jelas pria yang terlibat dalam perampokan CIMB Niaga pada 2010 lalu ini.

Sedangkan untuk aktivitas para santri sehari-hari, dimulai pukul 04.30 WIB. Kegiatan diawali dengan salat subuh berjamaah. Setalah itu, seluruh santri belajar menghapal kitab suci Al-quran.

Kemudian, pukul 08.00 hingga 12.00 WIB, dilanjutkan dengan belajar pelajaran umum. Seluruh santri ikut dalam belajar mengajar dengan kurikulum 2013, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Pukul 12.00 hingga pukul 14.00 WIB, istirahat untuk salat dan makan siang. Tepat pukul 14.00 hingga 20.00 WIB, dilanjutkan dengan belajar tentang agama. Penerapan disiplin kepada para santri dalam mengikuti setiap kegiatan di pesantren ini dilakukan secara ketat.

Ghozali menargetkan, pendidikan di pesantren ini dapat memutus mata rantai radikalisme. Agar anak-anak dari para pelaku aksi teror itu tak mengikuti jejak orangtuanya. “Jangan ada lagi tindakan terorisme di Indonesia. Itu terjadi karena tidak adanya pembinaan, jadi dengan mudah dicuci otak anak-anak itu,” ungkapnya.

Diakuinya juga, pesantren ini dibangun atas dasar keprihatinannya terhadap paham radikalisme yang perlahan mulai membelit anak-anak. Kata dia, sudah ada 1.000 ikhwan yang dipenjara karena terlibat terorisme. “Jika dari tiap orang yang dipenjara ini memiliki tiga orang anak, maka ada 3.000 anak yang terlantar,” ungkapnya.

Dalam pemahaman etika Islam, kata pria berkacamata ini, ada dikenal Birrul Walidain. Artinya, tiap anak harus berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Melalui modus birrul walidain ini, banyak teroris mengajak anaknya untuk melakukan aksi teror.

“Kalau anaknya menolak, maka dicap sebagai anak yang berdosa,” sebut Ghozali.

Untuk itu, dengan adanya pesantren ini, anak-anak yang sempat terpapar paham radikal akan kembali ke jalan yang benar. “Mudah-mudahan, di sini (pesantren Darusy Syifa), dapat meluruskan paham aktivis Islam yang terpapar radikalisme,” timpal Herwan Khaidir, Ketua Panitia Pembangunan Masjid Pesantren Darusy Syifa yang juga pejabat di BNPT.

Para santri tersebut berasal dari Kota Medan dan sekitarnya. Mereka merupakan anak-anak dari para pelaku terror.  “Seperti kasus penyerangan Polsek Hamparan Perak, pelatihan militer di Aceh dan lain-lainnya terkait kejadian teror,” jelas pria yang terlibat dalam perampokan CIMB Niaga pada 2010 lalu ini.

Sedangkan untuk aktivitas para santri sehari-hari, dimulai pukul 04.30 WIB. Kegiatan diawali dengan salat subuh berjamaah. Setalah itu, seluruh santri belajar menghapal kitab suci Al-quran.

Kemudian, pukul 08.00 hingga 12.00 WIB, dilanjutkan dengan belajar pelajaran umum. Seluruh santri ikut dalam belajar mengajar dengan kurikulum 2013, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Pukul 12.00 hingga pukul 14.00 WIB, istirahat untuk salat dan makan siang. Tepat pukul 14.00 hingga 20.00 WIB, dilanjutkan dengan belajar tentang agama. Penerapan disiplin kepada para santri dalam mengikuti setiap kegiatan di pesantren ini dilakukan secara ketat.

Ghozali menargetkan, pendidikan di pesantren ini dapat memutus mata rantai radikalisme. Agar anak-anak dari para pelaku aksi teror itu tak mengikuti jejak orangtuanya. “Jangan ada lagi tindakan terorisme di Indonesia. Itu terjadi karena tidak adanya pembinaan, jadi dengan mudah dicuci otak anak-anak itu,” ungkapnya.

Diakuinya juga, pesantren ini dibangun atas dasar keprihatinannya terhadap paham radikalisme yang perlahan mulai membelit anak-anak. Kata dia, sudah ada 1.000 ikhwan yang dipenjara karena terlibat terorisme. “Jika dari tiap orang yang dipenjara ini memiliki tiga orang anak, maka ada 3.000 anak yang terlantar,” ungkapnya.

Dalam pemahaman etika Islam, kata pria berkacamata ini, ada dikenal Birrul Walidain. Artinya, tiap anak harus berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Melalui modus birrul walidain ini, banyak teroris mengajak anaknya untuk melakukan aksi teror.

“Kalau anaknya menolak, maka dicap sebagai anak yang berdosa,” sebut Ghozali.

Untuk itu, dengan adanya pesantren ini, anak-anak yang sempat terpapar paham radikal akan kembali ke jalan yang benar. “Mudah-mudahan, di sini (pesantren Darusy Syifa), dapat meluruskan paham aktivis Islam yang terpapar radikalisme,” timpal Herwan Khaidir, Ketua Panitia Pembangunan Masjid Pesantren Darusy Syifa yang juga pejabat di BNPT.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/