31.7 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

13 Kabupaten/ Kota di Sumut Darurat Stunting

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sebanyak 13 kabupaten/ kota di Sumatera Utara (Sumut) dinyatakan darurat prevalensi stunting, dengan status ‘merah’ dengan angka di atas 30 persen. Hal ini sesuai data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021.

Dalam hal ini, SSGI mencatat kondisi prevalensi stunting di Sumut sangat memprihatinkan. Malah Mandailingnatal (Madina) dengan prevalensi stunting 47,1 persen peringkat nomor 2 dari 246 kabupaten/kota pada 12 provinsi prioritas.

Begitu juga Padanglawas (Palas) yang berprevalensi 42 persen, masuk dalam 10 besar daerah berstatus merah.

Selain itu, daerah yang juga berstatus merah adalah Pakpakbharat, Nias Selatan (Nisel), Niasutara, Dairi, Padanglawas Utara (Paluta), Nias, Kota Padangsidempuan, Langkat, Batubara, Labuhanbatu Utara (Labura) dan Tapanuliselatan (Tapsel).

Sedangkan, yang berstatus kuning atau yang memiliki prevalensi stunting di kisaran 20-30 persen, meliputi Samosir, Simalungun, Niasbarat, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan (Labusel), Tapanuliutara (Taput), Humbanghasundutan (Humbahas), Kota Gunungsitoli, Kota Tanjungbalai, Kota Sibolga, Tapanulitengah (Tapteng), Karo, Toba, serta Binjai.

Selain itu ada juga yang berstatus hijau, yakni memiliki prevalensi stunting di kisaran 10-20 persen mencakup 6 daerah, yaitu Serdangbedagai, Medan, Asahan, Tebingtinggi, Pematangsiantar, dan Deliserdang.

Menurut SSGI, stunting bukanlah kutukan melainkan bisa dicegah sedini mungkin. Jika semua aspek dari hulu hingga hilir, potensi munculnya stunting bisa diantisipasi dengan baik maka setiap keluarga bisa terhindar dari lahirnya bayi-bayi stunting.

Persoalan stunting merupakan masalah serius, mengingat sekitar 2-3 persen pendapatan domestik bruto atau PDB hilang pertahun akibat stunting. Dalam hitung-hitungan Wakil Presiden Ma’ruf Amin beberapa waktu lalu, dengan jumlah PDB Indonesia tahun 2020 sekitar Rp15 triliun maka potensi kerugian akibat stunting akan mencapai Rp450 triliun.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKN) yang diberi amanah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72/2021 sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Indonesia, berharap konvergensi lintas sektoral sungguh-sungguh bisa terlaksana dan membutuhkan komitmen serta kerja keras semua pihak.

“Program, kegiatan, dan anggaran untuk percepatan penurunan stunting menjadi saling melengkapi sehingga intervensi yang diberikan betul-betul diterima oleh rumah tangga sasaran. Dengan keberadaan 10.323, Tim Pendamping Keluarga atau TPK yang ada di Sumut atau setara dengan 30.969 orang penggerak pendamping keluarga, persoalan stunting di seantero Sumut harus bisa teratasi,” jelas Kepala BKKBN Dr (HC) dr Hasto Wardoyo SpOG (K), dalam acara Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting di Indonesia (RAN PASTI), di Hotel Santika Dyandra Premiere Medan, Rabu (9/3).

Adapun, dalam sosialisasi RAN PASTI tersebut menghadirkan para pembicara dari BKKBN serta para Wakil Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat dari unsur Sekretariat Wakil Presiden, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Bappenas, Kemendagri, serta Kemenkes.

Menurut Hasto, kolaborasi semua pihak di Sumut menjadi kata kunci untuk percepatan penurunan stunting. Pelibatan 21 perguruan tinggi di Sumut yang memiliki program studi gizi dan program studi kelompok kesehatan sangat potensial untuk dilibatkan. Program Kampus Merdeka memungkinkan mahasiswa bisa mendapat nilai satuan kredit semester di Kampung-Kampung Keluarga Berencana yang tersebar di seluruh Sumut, sehingga kontribusinya dalam percepatan penurunan stunting bisa optimal.

“Saya berharap, keberadaan 385 perguruan tinggi yang ada di Sumut bisa melaksanakan kegiatan peduli stunting. Hingga saat ini baru sembilan perguruan tinggi atau sekitar 2 persen yang telah melakukan perjanjian kesepakatan pemahaman (MOU) peduli stunting dengan BKKBN. Pelibatan mahasiswa dan pengerahan maksimal TPK menjadi solusi untuk meng-cover persoalan stunting yang ada di 6.132 desa yang ada di Sumut,” katanya.

Sosialisasi RAN PASTI ini, lanjutnya, menjabarkan penjelasan mengenai mekanisme tata kerja percepatan penurunan stunting di tingkat provinsi, kabupaten dan kota serta desa. Diulas juga mengenai pemantauan, pelaporan serta evaluasi. Skenario ‘pendanaan’ stunting di daerah juga dibahas dalam sosialisasi.

“Indikator penurunan stunting akan menjadi salah satu parameter keberhasilan kepala daerah dalam menyejahterakan warganya dan menghelat kemajuan pembangunan daerah,” imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Gubernur Sumut (Wagubsu), Musa Rajekshah, yang akrab disapa Ijeck mengakui, bahwa memang ada beberapa kabupaten/kota di Sumut yang terdapat kasus stuntingnya tinggi seperti Palas, Madina, dan Pakpakbharat.

Pihaknya bersama dengan Kepala BKKBN Perwakilan Sumut akan duduk bersama dengan kabupaten/kota untuk melihat data yang sudah ada lengkap di BKKBN baik ‘by name’ maupun ‘by addres’.

“Kita juga akan melihat apa indikatornya data stunting di daerah itu, karena tidak semua mengalami tidak normal secara fisik. Apakah itu karena kelahiran, gizi buruk dari ibu dan anak ataukah dari sanitasi karena airnya tidak bersih. Nanti kita bagi tugasnya tiap daerah, secara nasional anggarannya juga sudah disiapkan ke kabupaten/kota. Sehingga kita mau kerjaan ini, kita kerjakan secara bersama-sama,” ujarnya.

Pihaknya juga menargetkan ke depan kasus stunting di Sumut bisa menurun 4 persen setiap tahunnya sehingga tercapai target nasional 14 persen di Juni 2024 bisa tercapai.

“Ini bisa lebih, makanya harus ada kerja sama antarkabupaten/kota terutama kabupaten/kota yang tinggi kasusnya,” tandasnya. (Dwi)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sebanyak 13 kabupaten/ kota di Sumatera Utara (Sumut) dinyatakan darurat prevalensi stunting, dengan status ‘merah’ dengan angka di atas 30 persen. Hal ini sesuai data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021.

Dalam hal ini, SSGI mencatat kondisi prevalensi stunting di Sumut sangat memprihatinkan. Malah Mandailingnatal (Madina) dengan prevalensi stunting 47,1 persen peringkat nomor 2 dari 246 kabupaten/kota pada 12 provinsi prioritas.

Begitu juga Padanglawas (Palas) yang berprevalensi 42 persen, masuk dalam 10 besar daerah berstatus merah.

Selain itu, daerah yang juga berstatus merah adalah Pakpakbharat, Nias Selatan (Nisel), Niasutara, Dairi, Padanglawas Utara (Paluta), Nias, Kota Padangsidempuan, Langkat, Batubara, Labuhanbatu Utara (Labura) dan Tapanuliselatan (Tapsel).

Sedangkan, yang berstatus kuning atau yang memiliki prevalensi stunting di kisaran 20-30 persen, meliputi Samosir, Simalungun, Niasbarat, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan (Labusel), Tapanuliutara (Taput), Humbanghasundutan (Humbahas), Kota Gunungsitoli, Kota Tanjungbalai, Kota Sibolga, Tapanulitengah (Tapteng), Karo, Toba, serta Binjai.

Selain itu ada juga yang berstatus hijau, yakni memiliki prevalensi stunting di kisaran 10-20 persen mencakup 6 daerah, yaitu Serdangbedagai, Medan, Asahan, Tebingtinggi, Pematangsiantar, dan Deliserdang.

Menurut SSGI, stunting bukanlah kutukan melainkan bisa dicegah sedini mungkin. Jika semua aspek dari hulu hingga hilir, potensi munculnya stunting bisa diantisipasi dengan baik maka setiap keluarga bisa terhindar dari lahirnya bayi-bayi stunting.

Persoalan stunting merupakan masalah serius, mengingat sekitar 2-3 persen pendapatan domestik bruto atau PDB hilang pertahun akibat stunting. Dalam hitung-hitungan Wakil Presiden Ma’ruf Amin beberapa waktu lalu, dengan jumlah PDB Indonesia tahun 2020 sekitar Rp15 triliun maka potensi kerugian akibat stunting akan mencapai Rp450 triliun.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKN) yang diberi amanah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72/2021 sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Indonesia, berharap konvergensi lintas sektoral sungguh-sungguh bisa terlaksana dan membutuhkan komitmen serta kerja keras semua pihak.

“Program, kegiatan, dan anggaran untuk percepatan penurunan stunting menjadi saling melengkapi sehingga intervensi yang diberikan betul-betul diterima oleh rumah tangga sasaran. Dengan keberadaan 10.323, Tim Pendamping Keluarga atau TPK yang ada di Sumut atau setara dengan 30.969 orang penggerak pendamping keluarga, persoalan stunting di seantero Sumut harus bisa teratasi,” jelas Kepala BKKBN Dr (HC) dr Hasto Wardoyo SpOG (K), dalam acara Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting di Indonesia (RAN PASTI), di Hotel Santika Dyandra Premiere Medan, Rabu (9/3).

Adapun, dalam sosialisasi RAN PASTI tersebut menghadirkan para pembicara dari BKKBN serta para Wakil Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat dari unsur Sekretariat Wakil Presiden, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Bappenas, Kemendagri, serta Kemenkes.

Menurut Hasto, kolaborasi semua pihak di Sumut menjadi kata kunci untuk percepatan penurunan stunting. Pelibatan 21 perguruan tinggi di Sumut yang memiliki program studi gizi dan program studi kelompok kesehatan sangat potensial untuk dilibatkan. Program Kampus Merdeka memungkinkan mahasiswa bisa mendapat nilai satuan kredit semester di Kampung-Kampung Keluarga Berencana yang tersebar di seluruh Sumut, sehingga kontribusinya dalam percepatan penurunan stunting bisa optimal.

“Saya berharap, keberadaan 385 perguruan tinggi yang ada di Sumut bisa melaksanakan kegiatan peduli stunting. Hingga saat ini baru sembilan perguruan tinggi atau sekitar 2 persen yang telah melakukan perjanjian kesepakatan pemahaman (MOU) peduli stunting dengan BKKBN. Pelibatan mahasiswa dan pengerahan maksimal TPK menjadi solusi untuk meng-cover persoalan stunting yang ada di 6.132 desa yang ada di Sumut,” katanya.

Sosialisasi RAN PASTI ini, lanjutnya, menjabarkan penjelasan mengenai mekanisme tata kerja percepatan penurunan stunting di tingkat provinsi, kabupaten dan kota serta desa. Diulas juga mengenai pemantauan, pelaporan serta evaluasi. Skenario ‘pendanaan’ stunting di daerah juga dibahas dalam sosialisasi.

“Indikator penurunan stunting akan menjadi salah satu parameter keberhasilan kepala daerah dalam menyejahterakan warganya dan menghelat kemajuan pembangunan daerah,” imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Gubernur Sumut (Wagubsu), Musa Rajekshah, yang akrab disapa Ijeck mengakui, bahwa memang ada beberapa kabupaten/kota di Sumut yang terdapat kasus stuntingnya tinggi seperti Palas, Madina, dan Pakpakbharat.

Pihaknya bersama dengan Kepala BKKBN Perwakilan Sumut akan duduk bersama dengan kabupaten/kota untuk melihat data yang sudah ada lengkap di BKKBN baik ‘by name’ maupun ‘by addres’.

“Kita juga akan melihat apa indikatornya data stunting di daerah itu, karena tidak semua mengalami tidak normal secara fisik. Apakah itu karena kelahiran, gizi buruk dari ibu dan anak ataukah dari sanitasi karena airnya tidak bersih. Nanti kita bagi tugasnya tiap daerah, secara nasional anggarannya juga sudah disiapkan ke kabupaten/kota. Sehingga kita mau kerjaan ini, kita kerjakan secara bersama-sama,” ujarnya.

Pihaknya juga menargetkan ke depan kasus stunting di Sumut bisa menurun 4 persen setiap tahunnya sehingga tercapai target nasional 14 persen di Juni 2024 bisa tercapai.

“Ini bisa lebih, makanya harus ada kerja sama antarkabupaten/kota terutama kabupaten/kota yang tinggi kasusnya,” tandasnya. (Dwi)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/