Ketua Dewan Pemakai Jasa Angkutan Indonesia (Depalindo) Sumatera Utara, Hendrik H Sitompul mengapresiasi langkah Presiden kepada Kapolri, untuk mengusut dugaan praktik pungli di Pelabuhan Belawan, Medan. Sorotan Jokowi terkait masih lamanya proses dweling time di Belawan yang memakan waktu 7-8 hari, tidak mengurangi proses sterilisasi terhadap barang-barang yang seyogianya masuk jalur merah.
“Kita mendukung langkah presiden yang menginstruksikan kapolri untuk mengusut lamanya proses dweling time di Pelabuhan Belawan. Namun, jangan karena mempermudah proses keluar masuk barang melalui Pelabuhan Belawan, proses verifikasinya jadi terkesampingkan,” ungkapnya.
Diakui anggota DPRD Kota Medan itu, praktik pungutan liar di Pelabuhan Belawan sulit diungkap karena sudah teroganisir. Guna mengungkapnya, Hendrik berharap manajemen Pelindo dapat transparan terkait pungutan yang dibebankan kepada pengguna jasa di Pelabuhan Belawan. “Pungutan yang ada di Pelabuhan Belawan harus diinventarisir. Apakah pungutan resmi atau dari luar. Pelindo atau stake holder harus bisa transparan kepada pemakai jasa di pelabuhan,” ungkap Hendrik.
Begitu juga mengenai stempel yang dinyatakan clear harus bisa dijelaskan. “Mindset pengusaha di pelabuhan adalah bagaimana arus keluar masuknya lancar. Ada juga pengusaha yang tidak mau dibayar yang tidak ada blanko yang tidak jelas,” jelas politisi Demokrat itu.
Kata Hendrik, pungutan liar merupakan pungutan diluar kesepakatan. Hal itu disebabkan ketidaktransparanan stakeholder di pelabuhan mengenai kewajiban-kewajiban pemakai jasa.
“Diantara asosiasi juga ada pungutan yang diluar kesepakatan. Sebenarnya resmi dari operator pelabuhan tetapi dikelola asosiasi. Yang tahu resmi atau tidak adalah pihak pelabuhan,” ujarnya lagi.
Namun, Hendrik pesimis Pelindo berani transparan mengenai pungutan yang dibebankan ke pemakai jasa. “Kapolda harus segera menginventarisir pungutan di pelabuhan. Mulai masuk kapal hingga proses bongkar muat. Seluruh operator juga harus jelaskan ke pengguna jasa pelabuhan mengenai biayanya,” imbuh dia.
Sedangkan Anggota Komisi D DPRD Sumut, Juliski Simorangkir menyebut ada unsur kesengajaan dengan modus tidak mempergunakan peralatan maksimal sehingga proses dwelling time memakan waktu yang cukup lama. Atas kejadian itu, oknum PT Pelindo I melakukan negosiasi dengan para pengusaha untuk mendapatkan uang atau pungli. Selama ini, Pelabuhan Belawan merupakan pintu masuk dari segala kebutuhan yang ada di Provinsi Sumut. “Belawan belum terbebas dari premanisme, kumuh, dan Infrastruktur yang hancur,”katanya.
Alasan lain yang ditemukan Juliski yakni kurang maksimalnya penggunaan alat berat dalam proses dwelling time. “Sebenarnya mobil craine itu ada 8, tapi yang dioperasionalkan hanya 2. Artinya ada kesengajaan, oknum PT Pelindo I disinyalir juga ikut terlibat didalamnya,” tukasnya.
Sekretaris Komisi D DPRD Sumut, Nezar Djoeli mengungkapkan lamanya proses dwelling time di Pelabuhan Belawan tidak lepas dari lemahnya peran Pelindo I selaku pemegang regulasi. Di mana, Pelindo I sengaja memelihara oknum-oknum agar bisa mengatur proses dweling time. “Diduga ada oknum oknum yg bermain untuk regulasi dwelling time,”ujarnya kepada Sumut Pos.
Nezar juga menyatakan, PT Pelindo I selama ini merasa raja di Sumut karena menggunakan anggaran dari Kementrian BUMN, sehingga tidak memiliki rasa tanggungjawab atas lembaga pengawas yang ada di Sumut khususnya DPRD Sumut. “Kementerian BUMN harus mengevaluasi Direksi Pelindo I, apabila tidak mampu dalam menjalankan tugas silahkan dicopot saja. termasuk oknum yang diberikan tanggungjawab mengelola dwelling time perlu diganti,” ungkapnya. (rul/ted/prn/dik)