26.7 C
Medan
Sunday, May 5, 2024

Bibir Tersenyum, Hati Menangis

Foto: Wiwin/PM Warga yang digusur dari Jalan Timah tidak bersemangat merayakan Tahun Baru Imlek, Kamis (19/2/2015).
Foto: Wiwin/PM
Warga yang digusur dari Jalan Timah tidak bersemangat merayakan Tahun Baru Imlek, Kamis (19/2/2015).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sekilas tak ada yang tau jika wanita bernama Sumiati di Pasar Timah itu adalah warga Tionghoa yang seharusnya merayakan Tahun Baru Imlek. Saat semua warga Tionghoa mengenakan pakaian merah dan berkunjung ke rumah kerabat, Sumi yang kerap disapa A Cen dan anaknya hanya bisa berdiam diri di gubuk yang terbuat dari triplek berukuran 3×3 meter.

Wajah Sumi tak terlihat gembira, namun ia masih berusaha senyum saat disapa. Ia mengaku sedih karena tak bisa merayakan imlek seperti tahun lalu. Dimana kala itu, baju baru, penganan penjamu tamu, penghias rumah, hingga beberapa lembar angpau masih bisa disiapkannya. Kini, dirinya mendapatkan itu semua dari para dermawan.

“Ini memang senyum ketawa tapi hati menangis,”ungkap wanita berambut panjang itu saat dikunjungi.

Baju bekas yang ia kenakan dan anak laki-lakinya adalah pemberian orang lain. Bahkan kebutuhan lain seperti gula, minyak, beras semuanya atas pemberian dermawan yang iba melihatnya tak bisa merayakan tahun baru imlek dengan sempurna. Meski begitu, Sumi masih bersyukur karena ada juga dermawan yang memberikannya angpau.

Siang itu dirinya hendak bergegas bertamu ke rumah mertuanya. Sumi mengaku hanya berani datang ke rumah mertuanya saja. Jika harus bertamu ke rumah teman atau tetangganya yang berkecukupan, dirinya malu jika dianggap sengaja datang untuk meminta angpau. “Ga berani datang ke rumah orang kaya. Takut dikira minta angpau. Beraninya cuma ke rumah mertua aja,” lirihnya.

Tak mengharap banyak, dirinya begitu ingin memiliki tempat tinggal layak di tahun baru imlek. Tak perlu besar, cukup rumah kecil yang bisa membuat kehidupan keluarga terlihat layak. Kisah lain tentang sepinya perayaan imlek datang dari korban penggusuran lain bernama, A Yen (34). Saat dihampiri kru koran ini, ia dan kedua anaknya tengah bergegas hendak ke rumah saudaranya di kawaan Krakatau Medan. Sama seperti Sumi, baju yang ia kenakan dan kedua anaknya juga pemberian orang lain. Anak keduanya yang masih duduk dibangku TK terlihat cantik dengan gaun yang ia kenakan.

Anak perempuannya itu terlihat berlari-lari kecil sambil berputar-putar memamerkan gaunnya. “Tak ada kue tak ada minuman, tak ada semangat,”begitulah kata A Yen saat ditanyai perasaannya di tahun baru imlek ini. Dirinya mengaku makin sedih saat teringat di masa lalu ketika rumahnya belum digusur. Mulai dari kue, sirup dan keperluan lain bisa ia sediakan sendiri. Kini, menyediakan kue dan sirup pun tak ada gunanya, sebab rumahnya sudah tak berbentuk lagi.

Dirinya pun hanya melakukan ritual sembahyang sederhana untuk menyambut imlek. Terlihat di sana ada sebatang dupa besar yang masih terlihat baru dibakar. “Kami cuma ingin rumah di tahun ini. Semoga Tuhan mengabulkannya,” harap wanita berambut pendek itu. (win/deo)

Foto: Wiwin/PM Warga yang digusur dari Jalan Timah tidak bersemangat merayakan Tahun Baru Imlek, Kamis (19/2/2015).
Foto: Wiwin/PM
Warga yang digusur dari Jalan Timah tidak bersemangat merayakan Tahun Baru Imlek, Kamis (19/2/2015).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sekilas tak ada yang tau jika wanita bernama Sumiati di Pasar Timah itu adalah warga Tionghoa yang seharusnya merayakan Tahun Baru Imlek. Saat semua warga Tionghoa mengenakan pakaian merah dan berkunjung ke rumah kerabat, Sumi yang kerap disapa A Cen dan anaknya hanya bisa berdiam diri di gubuk yang terbuat dari triplek berukuran 3×3 meter.

Wajah Sumi tak terlihat gembira, namun ia masih berusaha senyum saat disapa. Ia mengaku sedih karena tak bisa merayakan imlek seperti tahun lalu. Dimana kala itu, baju baru, penganan penjamu tamu, penghias rumah, hingga beberapa lembar angpau masih bisa disiapkannya. Kini, dirinya mendapatkan itu semua dari para dermawan.

“Ini memang senyum ketawa tapi hati menangis,”ungkap wanita berambut panjang itu saat dikunjungi.

Baju bekas yang ia kenakan dan anak laki-lakinya adalah pemberian orang lain. Bahkan kebutuhan lain seperti gula, minyak, beras semuanya atas pemberian dermawan yang iba melihatnya tak bisa merayakan tahun baru imlek dengan sempurna. Meski begitu, Sumi masih bersyukur karena ada juga dermawan yang memberikannya angpau.

Siang itu dirinya hendak bergegas bertamu ke rumah mertuanya. Sumi mengaku hanya berani datang ke rumah mertuanya saja. Jika harus bertamu ke rumah teman atau tetangganya yang berkecukupan, dirinya malu jika dianggap sengaja datang untuk meminta angpau. “Ga berani datang ke rumah orang kaya. Takut dikira minta angpau. Beraninya cuma ke rumah mertua aja,” lirihnya.

Tak mengharap banyak, dirinya begitu ingin memiliki tempat tinggal layak di tahun baru imlek. Tak perlu besar, cukup rumah kecil yang bisa membuat kehidupan keluarga terlihat layak. Kisah lain tentang sepinya perayaan imlek datang dari korban penggusuran lain bernama, A Yen (34). Saat dihampiri kru koran ini, ia dan kedua anaknya tengah bergegas hendak ke rumah saudaranya di kawaan Krakatau Medan. Sama seperti Sumi, baju yang ia kenakan dan kedua anaknya juga pemberian orang lain. Anak keduanya yang masih duduk dibangku TK terlihat cantik dengan gaun yang ia kenakan.

Anak perempuannya itu terlihat berlari-lari kecil sambil berputar-putar memamerkan gaunnya. “Tak ada kue tak ada minuman, tak ada semangat,”begitulah kata A Yen saat ditanyai perasaannya di tahun baru imlek ini. Dirinya mengaku makin sedih saat teringat di masa lalu ketika rumahnya belum digusur. Mulai dari kue, sirup dan keperluan lain bisa ia sediakan sendiri. Kini, menyediakan kue dan sirup pun tak ada gunanya, sebab rumahnya sudah tak berbentuk lagi.

Dirinya pun hanya melakukan ritual sembahyang sederhana untuk menyambut imlek. Terlihat di sana ada sebatang dupa besar yang masih terlihat baru dibakar. “Kami cuma ingin rumah di tahun ini. Semoga Tuhan mengabulkannya,” harap wanita berambut pendek itu. (win/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/