31.7 C
Medan
Wednesday, May 29, 2024

Diversifikasi Pangan Butuh Peran Perguruan Tinggi

MEDAN- Diversifikasi atau penganekaragaman pangan semakin mendesak. Bila tak segera mungkin dilakukan, krisis pangan akan cepat terjadi. Ancaman itu memang belum terasa, tapi terus mengancam. Untuk mewujudkan percepatan diversifikasi pangan itu diperlukan peranan perguruan tinggi (PT).

Anggota Dewan Ketahanan Pangan Kota Medan Prof DR Posman Sibuea memaparkan, selama ini pengertian tentang ketahanan pangan masih keliru. Sebenarnya masalah pangan bukan hanya soal ketersediaan melainkan menyangkut distribusi dengan harga terjangkau agar mudah diakses keluarga.

Dia menyebutkan, panganan nonberas seperti singkong, dianggap tak layak konsumsi. Bahkan, ketika ada kelompok masyarakat memakan singkong, semakin cepat terekam di lensa wartawan dan jadilah berita utama kelaparan. Padahal, warga yang mengonsumsinya tak ada masalah.

Seperti diseminarkan Pasca Sarjana Antropologi Unimed dengan tema seminar nasional wisata kuliner berbasis panganan lokal. Pada seminar itu menghadirkan pembicara dari Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan ahli diversifikasi konsumsi pangan, Prof DR Posman Sibuea, Senin (27/6).

Pertemuan itu membahas panganan lokal yang memiliki potensi besar dalam memajukan wisata lokal di setiap wilayah.  Menurut Posman, pembahasan itu merupakan hal yang dibutuhkan dalam memajukan setiap wilayah. “Protein makanan lokal seperti singkong dan ubi jalar  tak kalah saing dengan beras, selanjutnya dari sisi harga singkong dan ubi jalar jauh lebih murah dari pada beras,”katanya.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kota Medan, Ir Eka R Yanti Danil MM menyampaikan, di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah, makanan pokok masyarakat adalah tiwul. Masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Madura biasa makan jagung dan pisang, penduduk di Papua, Maluku dan Maluku Utara makanan pokoknya sagu dan umbi-umbian lokal. Apalagi dicampur sup ikan yang secara lokal mudah didapat, rasanya sangat enak dan bergizi.

“Mongonsumsi pangan lokal merupakan pola makan masyarakat setempat,” katanya.
Dia menyebutkan, budaya masyarakat telah tercipta sejak dahulu kala, sehingga harus didorong. Maka dari itu, peranan perguruan tinggi, mahasiswa dan peras sangat penting dalam mendorong upaya ini.
“Kita jangan mau dijajah beras, kalau kita sadar. Negeri ini adalah negeri surplus pangan,” ucapnya. (ril)

MEDAN- Diversifikasi atau penganekaragaman pangan semakin mendesak. Bila tak segera mungkin dilakukan, krisis pangan akan cepat terjadi. Ancaman itu memang belum terasa, tapi terus mengancam. Untuk mewujudkan percepatan diversifikasi pangan itu diperlukan peranan perguruan tinggi (PT).

Anggota Dewan Ketahanan Pangan Kota Medan Prof DR Posman Sibuea memaparkan, selama ini pengertian tentang ketahanan pangan masih keliru. Sebenarnya masalah pangan bukan hanya soal ketersediaan melainkan menyangkut distribusi dengan harga terjangkau agar mudah diakses keluarga.

Dia menyebutkan, panganan nonberas seperti singkong, dianggap tak layak konsumsi. Bahkan, ketika ada kelompok masyarakat memakan singkong, semakin cepat terekam di lensa wartawan dan jadilah berita utama kelaparan. Padahal, warga yang mengonsumsinya tak ada masalah.

Seperti diseminarkan Pasca Sarjana Antropologi Unimed dengan tema seminar nasional wisata kuliner berbasis panganan lokal. Pada seminar itu menghadirkan pembicara dari Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan ahli diversifikasi konsumsi pangan, Prof DR Posman Sibuea, Senin (27/6).

Pertemuan itu membahas panganan lokal yang memiliki potensi besar dalam memajukan wisata lokal di setiap wilayah.  Menurut Posman, pembahasan itu merupakan hal yang dibutuhkan dalam memajukan setiap wilayah. “Protein makanan lokal seperti singkong dan ubi jalar  tak kalah saing dengan beras, selanjutnya dari sisi harga singkong dan ubi jalar jauh lebih murah dari pada beras,”katanya.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kota Medan, Ir Eka R Yanti Danil MM menyampaikan, di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah, makanan pokok masyarakat adalah tiwul. Masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Madura biasa makan jagung dan pisang, penduduk di Papua, Maluku dan Maluku Utara makanan pokoknya sagu dan umbi-umbian lokal. Apalagi dicampur sup ikan yang secara lokal mudah didapat, rasanya sangat enak dan bergizi.

“Mongonsumsi pangan lokal merupakan pola makan masyarakat setempat,” katanya.
Dia menyebutkan, budaya masyarakat telah tercipta sejak dahulu kala, sehingga harus didorong. Maka dari itu, peranan perguruan tinggi, mahasiswa dan peras sangat penting dalam mendorong upaya ini.
“Kita jangan mau dijajah beras, kalau kita sadar. Negeri ini adalah negeri surplus pangan,” ucapnya. (ril)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/