28 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Ganti Rugi Ratusan Juta atau Diproses Hukum

Foto: Istimewa
Saulina boru Sitorus (92) alias Oppu Linda (tengah), mendapat dukungan moril dari sejumlah masyarakat, karena ia diajukan ke meja hukum dalam kasus penebangan pohon durian milik saudaranya.

SUMUTPOS.CO – Tak ada pilihan lain kecuali pasrah, karena berbagai cara telah ditempuh oleh Saulina Sitorus (92) agar persoalan yang dihadapinya bisa tuntas melalui jalur kekeluargaan. Sayangnya, palu hakim tak mengenal usia. Di usia senja, dia harus jadi seorang terpidana.

Memang, Saulinan Sitorus tak dikekang dalam jeruji besi, seperti yang dirasakan anak-anaknya, yang turut terseret dalam kasus yang sama, yakni pengrusakan. Dia berstatus tahanan kota. Namun, betapa kesedihan menerpanya, karena niatnya yang tulus untuk memperbaiki makam leluhur jadi berbuah pahit, bahkan diadukan oleh orang yang juga masih kerabatnya.

Sebagaimana kebiasaan sebagian besar orang Batak, membangun makam leluhur dianggap sebagai bentuk penghormatan sekaligus aplikasi rasa cinta kasih kepada leluhur. Hal inilah yang menjadi awal timbulnya niat keluarga Saulina Sitorus membangun makam leluhurnya, Boi Godang Naiborhu atau Op Sadihari, yang berada di Dusun Panamean, Desa Sampuara, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Desember 2016 lalu.

Tak disangka, niat baik itu membawa petaka. Di usianya yang sudah renta, justru ia harus dihadapkan pada kursi pesakitan berikut enam anaknya atas kasus pengrusakan oleh pelapor Jepaya Sitorus. Dalam kasus tersebut, keluarga besar keturunan Op Sadihari merasa terpukul. Dimana menurut mereka, hal tersebut tidak seharusnya sampai ke penegak hukum. Dimana masih ada jalan keluar melalui perundingan, baik melalui penetua adat (parsahutaon) atau kepala desa. Namun berbagai  upaya yang mereka lakukan tidak membuahkan perdamaian.

Kepada New Tapanuli (grup Sumut Pos), Saulina didampingi kerabatnya menerangkan, dalam upaya perundingan yang mereka lakukan, Japaya Sitorus meminta ganti rugi dalam jumlah yang banyak. Sayangnya, mereka tidak sanggup membayar. Karenanya, mereka hanya bisa pasrah.

Selain itu, keluarga Saulina mengaku sudah mendapatkan izin dari pemilik tanah wakaf tersebut untuk menebang pohon durian dengan diameter sekitar 5 inch itu. Yang mereka ketahui, pewaris tanah wakaf itu adalah Kardi Sitorus, keturunan Martahiam Sitorus, bukan Jepaya Sitorus.

“Kalau tidak ditebang, takutnya  mengganggu makam, bisa rusak nanti. Jadi kami izin kepada ibotoku (saudaraku) Kardi Sitorus. Sebenarnya, selama ini kami tidak  tahu  itu miliknya (Jepaya Sitorus). Itupun, kami sudah minta maaf dan bersedia ganti rugi. Tapi yang diminta ratusan juta. Sudah kami bujuk, tapi tidak bersedia,” terang Saulina.

Foto: Istimewa
Saulina boru Sitorus (92) alias Oppu Linda (tengah), mendapat dukungan moril dari sejumlah masyarakat, karena ia diajukan ke meja hukum dalam kasus penebangan pohon durian milik saudaranya.

SUMUTPOS.CO – Tak ada pilihan lain kecuali pasrah, karena berbagai cara telah ditempuh oleh Saulina Sitorus (92) agar persoalan yang dihadapinya bisa tuntas melalui jalur kekeluargaan. Sayangnya, palu hakim tak mengenal usia. Di usia senja, dia harus jadi seorang terpidana.

Memang, Saulinan Sitorus tak dikekang dalam jeruji besi, seperti yang dirasakan anak-anaknya, yang turut terseret dalam kasus yang sama, yakni pengrusakan. Dia berstatus tahanan kota. Namun, betapa kesedihan menerpanya, karena niatnya yang tulus untuk memperbaiki makam leluhur jadi berbuah pahit, bahkan diadukan oleh orang yang juga masih kerabatnya.

Sebagaimana kebiasaan sebagian besar orang Batak, membangun makam leluhur dianggap sebagai bentuk penghormatan sekaligus aplikasi rasa cinta kasih kepada leluhur. Hal inilah yang menjadi awal timbulnya niat keluarga Saulina Sitorus membangun makam leluhurnya, Boi Godang Naiborhu atau Op Sadihari, yang berada di Dusun Panamean, Desa Sampuara, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Desember 2016 lalu.

Tak disangka, niat baik itu membawa petaka. Di usianya yang sudah renta, justru ia harus dihadapkan pada kursi pesakitan berikut enam anaknya atas kasus pengrusakan oleh pelapor Jepaya Sitorus. Dalam kasus tersebut, keluarga besar keturunan Op Sadihari merasa terpukul. Dimana menurut mereka, hal tersebut tidak seharusnya sampai ke penegak hukum. Dimana masih ada jalan keluar melalui perundingan, baik melalui penetua adat (parsahutaon) atau kepala desa. Namun berbagai  upaya yang mereka lakukan tidak membuahkan perdamaian.

Kepada New Tapanuli (grup Sumut Pos), Saulina didampingi kerabatnya menerangkan, dalam upaya perundingan yang mereka lakukan, Japaya Sitorus meminta ganti rugi dalam jumlah yang banyak. Sayangnya, mereka tidak sanggup membayar. Karenanya, mereka hanya bisa pasrah.

Selain itu, keluarga Saulina mengaku sudah mendapatkan izin dari pemilik tanah wakaf tersebut untuk menebang pohon durian dengan diameter sekitar 5 inch itu. Yang mereka ketahui, pewaris tanah wakaf itu adalah Kardi Sitorus, keturunan Martahiam Sitorus, bukan Jepaya Sitorus.

“Kalau tidak ditebang, takutnya  mengganggu makam, bisa rusak nanti. Jadi kami izin kepada ibotoku (saudaraku) Kardi Sitorus. Sebenarnya, selama ini kami tidak  tahu  itu miliknya (Jepaya Sitorus). Itupun, kami sudah minta maaf dan bersedia ganti rugi. Tapi yang diminta ratusan juta. Sudah kami bujuk, tapi tidak bersedia,” terang Saulina.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/