31.7 C
Medan
Monday, May 20, 2024

MK Putuskan Pilpres Satu Putaran

JAKARTA Berakhir sudah polemik pilpres 2014 akan berlangsung satu atau dua putaran. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menafsirkan pasal 6A UUD 1945 yang mengatur pilpres. Hasilnya, MK memutuskan jika pilpres dua putaran tidak bisa diberlakukan jika pesertanya hanya dua orang.

MK pun mengabulkan permohonan Forum Pengacara Konstitusi (FPK) untuk menguji pasal 159 (1) UU nomor 42 TAhun 2008 tentang Pilpres. “Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon,” ucap Ketua MK Hamdan Zoelva dalam amar putusannya kemarin (3/7).

Bunyi pasal tersebut, Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Itu berarti, pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 jika peserta pilpres hanya dua pasang. Namun, sebelum memutuskan pasal tersebut bertentangan, MK lebih dahulu menafsirkan pasal 6A UUD 1945.

Hakim Konstitusi Muhammad Alim menjelaskan, sebenarnya aturan UU Pilpres tersebut sama persis dengan Pasal 6A (3). Semangat yang diusung adalah legitimasi presiden terpilih berasal dari mayoritas rakyat yang sebarannya merata dari Sabang sampai Merauke. Namun, hasil penelusuran terhadap penyusunan perubahan UUD 1945 menunjukkan hal yang berbeda. “Tidak dibicarakan secara ekspresis verbis apabila hanya terdapat dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden,” terangnya. Saat itu, tim perumus perubahan UUD 1945 berasumsi akan muncul banyak capres sebagai akibat banyaknya parpol. Tidak ada antisipasi jika peserta pilpres hanya dua pasang.

Karena itu, MK menafsirkan jika pilpres hanya diikuti dua pasang, maka yang berlaku bukan pasal 6A (3), melainkan pasal 6A (4). Pemberlakuan pasal itu menitikberatkan pada kalimat pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Bukan lagi dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, karena sejak awal hanya ada dua pasang calon.

Dengan demikian, pada pilpres 9 Juli mendatang tidak perlu diberlakukan putaran kedua meskipun perolehan suara pemenang pilpres tidak merata. Ketentuan pasal 6A (4) akan menjadi representasi pasal 6A secara keseluruhan.

Putusan Pilpres satu putaran itu sempat diwarnai dissenting opinion dari dua hakim konstitusi, yakni Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams. Patrialis berpendapat, jika pasal 6A (3) harus tetap diberlakukan dengan pertimbangan kemajemukan dan legitimasi pemilih.

Dalam pilpres nanti, akan ada kemungkinan kedua capres tidak bisa memenuhi pasal 6A (3). Yakni, pemenang memperoleh suara tidak rata, dan pihak yang kalah memperoleh suara minimum 20 persen di lebih dari separo provinsi.

“Pilpres cukup satu putaran, namun perhitungan suaranya harus dua putaran,” ujar Patrialis. Perhitungan suara tahap satu mengikuti kaidah pasal 6A (3). Jika tidak terpenuhi, barulah dilakukan perhitungan tahap dua sesuai kaidah pasal 6A (4).

Sementara itu, Wahiduddin Adams berpendapat pasal 6A (3) harus tetap diberlakukan dengan alasan legitimasi, meski hanya ada dua pasang capres-cawapres yang berlaga. Sehingga, jika pada 9 Juli mendatang persyaratan pasal tersebut tidak terpenuhi, maka harus diadakan putaran kedua dengan dasar pasal 6A (4).

Putusan tersebut diapresiasi oleh FPK. Perwakilan FPK Andi Asrun mengatakan, MK telah menjawab keraguan pubik jika mereka berwenang menafsirkan UUD. “Ini menjawab kekosongan hukum, karena konstitusi dan UU 42 Tahun 2008 itu tidak mengatur bagaimana kalau pilpres hanya diikuti dua pasangan calon,” ujarnya usai sidang putusan kemarin.

Di tempat terpisah, Menkopolhukam Djoko Suyanto tidak banyak berkomentar terkait putusan MK menyoal Pilpres satu putaran. Dia hanya mengungkapkan bahwa pemerintah siap mematuhi putusan MK tersebut. “Saya sudah terima putusan MK. Ya kita patuhi keputusan MK seperti itu,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan kemarin.

Terkait keputusan MK tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga siap untuk menjalankannya. Komisioner KPU Arief Budiman menuturkan, sebenarnya mudah saja untuk merespons keputusan MK tersebut. Prosesnya, penyelenggara pemilu bakal menggelar rapat pleno, nantinya diamati pasal mana yang telah diubah dan maknanya seperti apa. “Setelah itu dikirim ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan selesai sudah,” terangnya.

Rapat pleno tersebut, lanjut dia, akan digelar secepatnya dengan syarat kuorumnya terpenuhi. Sebab, saat ini ada komisioner yang sedang monitoring ke Kendari, Kalimantan. “Yang jelas secepatnya rapat pleno,” tuturnya.

Dengan keputusan MK tersebut, sebenarnya memudahkan KPU. Dia mengatakan, pilpres satu putaran itu membutuhkan legalitas. Dengan keputusan MK ini, maka legalitas itu sudah ada. “Ya kami siap laksanakan,” ujarnya.

Sementara itu Ketua KPU Husni Kamil Manik mengaku pihaknya siap untuk menindaklanjuti keputusan tersebut. “Apapun putusannya akan diikuti, keputusan itu sifatnya mengikat,” tuturnya. (byu/ken/idr/kim/jpnn/rbb)

JAKARTA Berakhir sudah polemik pilpres 2014 akan berlangsung satu atau dua putaran. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menafsirkan pasal 6A UUD 1945 yang mengatur pilpres. Hasilnya, MK memutuskan jika pilpres dua putaran tidak bisa diberlakukan jika pesertanya hanya dua orang.

MK pun mengabulkan permohonan Forum Pengacara Konstitusi (FPK) untuk menguji pasal 159 (1) UU nomor 42 TAhun 2008 tentang Pilpres. “Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon,” ucap Ketua MK Hamdan Zoelva dalam amar putusannya kemarin (3/7).

Bunyi pasal tersebut, Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Itu berarti, pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 jika peserta pilpres hanya dua pasang. Namun, sebelum memutuskan pasal tersebut bertentangan, MK lebih dahulu menafsirkan pasal 6A UUD 1945.

Hakim Konstitusi Muhammad Alim menjelaskan, sebenarnya aturan UU Pilpres tersebut sama persis dengan Pasal 6A (3). Semangat yang diusung adalah legitimasi presiden terpilih berasal dari mayoritas rakyat yang sebarannya merata dari Sabang sampai Merauke. Namun, hasil penelusuran terhadap penyusunan perubahan UUD 1945 menunjukkan hal yang berbeda. “Tidak dibicarakan secara ekspresis verbis apabila hanya terdapat dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden,” terangnya. Saat itu, tim perumus perubahan UUD 1945 berasumsi akan muncul banyak capres sebagai akibat banyaknya parpol. Tidak ada antisipasi jika peserta pilpres hanya dua pasang.

Karena itu, MK menafsirkan jika pilpres hanya diikuti dua pasang, maka yang berlaku bukan pasal 6A (3), melainkan pasal 6A (4). Pemberlakuan pasal itu menitikberatkan pada kalimat pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Bukan lagi dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, karena sejak awal hanya ada dua pasang calon.

Dengan demikian, pada pilpres 9 Juli mendatang tidak perlu diberlakukan putaran kedua meskipun perolehan suara pemenang pilpres tidak merata. Ketentuan pasal 6A (4) akan menjadi representasi pasal 6A secara keseluruhan.

Putusan Pilpres satu putaran itu sempat diwarnai dissenting opinion dari dua hakim konstitusi, yakni Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams. Patrialis berpendapat, jika pasal 6A (3) harus tetap diberlakukan dengan pertimbangan kemajemukan dan legitimasi pemilih.

Dalam pilpres nanti, akan ada kemungkinan kedua capres tidak bisa memenuhi pasal 6A (3). Yakni, pemenang memperoleh suara tidak rata, dan pihak yang kalah memperoleh suara minimum 20 persen di lebih dari separo provinsi.

“Pilpres cukup satu putaran, namun perhitungan suaranya harus dua putaran,” ujar Patrialis. Perhitungan suara tahap satu mengikuti kaidah pasal 6A (3). Jika tidak terpenuhi, barulah dilakukan perhitungan tahap dua sesuai kaidah pasal 6A (4).

Sementara itu, Wahiduddin Adams berpendapat pasal 6A (3) harus tetap diberlakukan dengan alasan legitimasi, meski hanya ada dua pasang capres-cawapres yang berlaga. Sehingga, jika pada 9 Juli mendatang persyaratan pasal tersebut tidak terpenuhi, maka harus diadakan putaran kedua dengan dasar pasal 6A (4).

Putusan tersebut diapresiasi oleh FPK. Perwakilan FPK Andi Asrun mengatakan, MK telah menjawab keraguan pubik jika mereka berwenang menafsirkan UUD. “Ini menjawab kekosongan hukum, karena konstitusi dan UU 42 Tahun 2008 itu tidak mengatur bagaimana kalau pilpres hanya diikuti dua pasangan calon,” ujarnya usai sidang putusan kemarin.

Di tempat terpisah, Menkopolhukam Djoko Suyanto tidak banyak berkomentar terkait putusan MK menyoal Pilpres satu putaran. Dia hanya mengungkapkan bahwa pemerintah siap mematuhi putusan MK tersebut. “Saya sudah terima putusan MK. Ya kita patuhi keputusan MK seperti itu,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan kemarin.

Terkait keputusan MK tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga siap untuk menjalankannya. Komisioner KPU Arief Budiman menuturkan, sebenarnya mudah saja untuk merespons keputusan MK tersebut. Prosesnya, penyelenggara pemilu bakal menggelar rapat pleno, nantinya diamati pasal mana yang telah diubah dan maknanya seperti apa. “Setelah itu dikirim ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan selesai sudah,” terangnya.

Rapat pleno tersebut, lanjut dia, akan digelar secepatnya dengan syarat kuorumnya terpenuhi. Sebab, saat ini ada komisioner yang sedang monitoring ke Kendari, Kalimantan. “Yang jelas secepatnya rapat pleno,” tuturnya.

Dengan keputusan MK tersebut, sebenarnya memudahkan KPU. Dia mengatakan, pilpres satu putaran itu membutuhkan legalitas. Dengan keputusan MK ini, maka legalitas itu sudah ada. “Ya kami siap laksanakan,” ujarnya.

Sementara itu Ketua KPU Husni Kamil Manik mengaku pihaknya siap untuk menindaklanjuti keputusan tersebut. “Apapun putusannya akan diikuti, keputusan itu sifatnya mengikat,” tuturnya. (byu/ken/idr/kim/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/