32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Kamaluddin Harahap Dituntut 7 Tahun, Denda Rp1,2 Miliar

ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama/15. Anggota DPRD Sumut 2014 - 2019 Fraksi PAN Kamaluddin Harahap (tengah) dikawal petugas usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Senin (23/11/2015). KPK menahan mantan Wakil Ketua DPRD Sumut 2009 - 2014 tersebut, karena diduga menerima suap dari tersangka Gubsu non-aktif Gatot Pujo Nugroho, terkait pengesahan APBD Sumut 2010-2014, persetujuan LPj Pempropsu 2012-2014 dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut 2015.
ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama/15.
Anggota DPRD Sumut 2014 – 2019 Fraksi PAN Kamaluddin Harahap (tengah) dikawal petugas usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Senin (23/11/2015). KPK menahan mantan Wakil Ketua DPRD Sumut 2009 – 2014 tersebut, karena diduga menerima suap dari tersangka Gubsu non-aktif Gatot Pujo Nugroho, terkait pengesahan APBD Sumut 2010-2014, persetujuan LPj Pempropsu 2012-2014 dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut 2015.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Wakil Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 Kamaluddin Harahap dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dengan pidana penjara selama tujuh tahun. Kamaluddin juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 1,26 miliar.

Dengan ketentuan apabila setelah satu bulan vonis dijatuhkan tidak dibayar, maka harta kekayaannya akan disita. Apabila tidak mencukupi maka akan diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun.

Kamaluddin terbukti menerima suap ‘uang ketok’ dari bekas Gubsu Gatot Pujo Nugroho sebesar Rp1,26 miliar.

“Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan terdakwa Kamaluddin Harahap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan kedua,” kata Jaksa Afni Carolina saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/5).

Selain itu, Jaksa menuntut Kamaluddin membayar denda sebesar Rp200 juta. Dengan ketentuan apabila tidak dibayarkan, maka harus diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.

Hal itu lantaran uang suap yang diterimanya dari Gatot berasal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov Sumut.

Dalam mengajukan tuntutan, JPU memiliki pertimbangan memberatkan dan meringankan. Pertimbangan yang memberatkan, Kamaluddin dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, tidak mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya, dan tidak pernah mengembalikan uang yang diterimanya.

“Yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum,” kata Jaksa Afni.

Kamaluddin dinilai terbukti beberapa kali menerima suap dari Gatot Pujo Nugroho melalui Baharuddin Siagian dan Randiman Tarigan. Suap itu diberikan agar Kamal menyetujui pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2012, persetujuan terhadap APBD-P 2013, dan persetujuan APBD 2014 dan 2015.

Dalam materi tuntutan, disebutkan, pada Juli 2013, bekas Sekda Provinsi Sumut, Nurdin Lubis menyampaikan permintaan Gatot kepada pimpinan DPRD agar menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Provinsi Sumut 2012.

Pertemuan di ruang kerja Sekretaris DPRD Sumut itu dihadiri oleh Kamaluddin, dan para wakilnya, Muhammad Afan, Chaidir Ritonga, dan Sigit Pramono Asri. Kamaluddin pun meminta kompensasi yang disebutnya sebagai ‘uang ketok’ sebesar Rp1,55 miliar.

Gatot menyetujuinya dan mengumpulkan dana dari sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Uang itu kemudian diterima oleh Kamaluddin dan dibagikan ke anggota DPRD Sumut masing-masing sebesar Rp12,5 juta.

Kemudian, untuk Sekretaris Fraksi masing-masing Rp17,5 juta, masing-masing ketua fraksi menerima Rp20 juta, Wakil Ketua DPRD masing-masing Rp40 juta, dan Ketua DPRD menerima Rp77,5 juta.

Pola yang sama terjadi pada tahun berikutnya. Pada November 2013, Nurdin Lubis kembali menyampaikan permintaan Gatot agar pimpinan DPRD Sumut mengabulkan Ranperda tentang Perubahan APBD Provinsi Sumut Tahun 2013.

Kamaluddin kembali meminta ‘uang ketok’ untuk DPRD Sumut yang jumlahnya lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yakni Rp2,55 miliar. Rinciannya, anggota DPRD masing-masing menerima Rp15 juta, anggota Badan Anggaran masing-masing Rp10 juta, Sekretaris Fraksi masing-masing mendapat tambahan Rp10 juta.

Kemudian, ketua fraksi masing-masing mendapat tambahan Rp15 juta, Wakil Ketua DPRD masing-masing mendapatkan tambahan Rp50 juta, serta tambahan Rp150 juta untuk Ketua DPRD.

Uang tersebut diperoleh Gatot dari beberapa SKPD di lingkungan pemerintah Provinsi Sumut yang dikumpulkan oleh Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Sumut, Baharuddin Siagian.

Setelah uang diterima, pada 22 November 2013 di Sidang Paripurna, pimpinan dan anggota DPRD Sumut menyetujui Ranperda tentang Perubahan APBD Provinsi Sumut Tahun 2013.

Pada November 2014, Gatot bertemu dengan pimpinan DPRD Sumut, yakni Kamaluddin, Chaidir, Sigit, dan Afan. Dalam pertemuan tersebut kamaluddin dan Sigit meminta proyek Belanja Modal sebesar Rp1 triliun untuk seluruh anggota DPRD Sumut terkait persetujuan Ranperda tentang APBD Provinsi Sumut Tahun 2014.

ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama/15. Anggota DPRD Sumut 2014 - 2019 Fraksi PAN Kamaluddin Harahap (tengah) dikawal petugas usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Senin (23/11/2015). KPK menahan mantan Wakil Ketua DPRD Sumut 2009 - 2014 tersebut, karena diduga menerima suap dari tersangka Gubsu non-aktif Gatot Pujo Nugroho, terkait pengesahan APBD Sumut 2010-2014, persetujuan LPj Pempropsu 2012-2014 dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut 2015.
ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama/15.
Anggota DPRD Sumut 2014 – 2019 Fraksi PAN Kamaluddin Harahap (tengah) dikawal petugas usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Senin (23/11/2015). KPK menahan mantan Wakil Ketua DPRD Sumut 2009 – 2014 tersebut, karena diduga menerima suap dari tersangka Gubsu non-aktif Gatot Pujo Nugroho, terkait pengesahan APBD Sumut 2010-2014, persetujuan LPj Pempropsu 2012-2014 dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut 2015.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Wakil Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 Kamaluddin Harahap dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dengan pidana penjara selama tujuh tahun. Kamaluddin juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 1,26 miliar.

Dengan ketentuan apabila setelah satu bulan vonis dijatuhkan tidak dibayar, maka harta kekayaannya akan disita. Apabila tidak mencukupi maka akan diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun.

Kamaluddin terbukti menerima suap ‘uang ketok’ dari bekas Gubsu Gatot Pujo Nugroho sebesar Rp1,26 miliar.

“Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan terdakwa Kamaluddin Harahap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan kedua,” kata Jaksa Afni Carolina saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/5).

Selain itu, Jaksa menuntut Kamaluddin membayar denda sebesar Rp200 juta. Dengan ketentuan apabila tidak dibayarkan, maka harus diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.

Hal itu lantaran uang suap yang diterimanya dari Gatot berasal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov Sumut.

Dalam mengajukan tuntutan, JPU memiliki pertimbangan memberatkan dan meringankan. Pertimbangan yang memberatkan, Kamaluddin dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, tidak mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya, dan tidak pernah mengembalikan uang yang diterimanya.

“Yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum,” kata Jaksa Afni.

Kamaluddin dinilai terbukti beberapa kali menerima suap dari Gatot Pujo Nugroho melalui Baharuddin Siagian dan Randiman Tarigan. Suap itu diberikan agar Kamal menyetujui pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2012, persetujuan terhadap APBD-P 2013, dan persetujuan APBD 2014 dan 2015.

Dalam materi tuntutan, disebutkan, pada Juli 2013, bekas Sekda Provinsi Sumut, Nurdin Lubis menyampaikan permintaan Gatot kepada pimpinan DPRD agar menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Provinsi Sumut 2012.

Pertemuan di ruang kerja Sekretaris DPRD Sumut itu dihadiri oleh Kamaluddin, dan para wakilnya, Muhammad Afan, Chaidir Ritonga, dan Sigit Pramono Asri. Kamaluddin pun meminta kompensasi yang disebutnya sebagai ‘uang ketok’ sebesar Rp1,55 miliar.

Gatot menyetujuinya dan mengumpulkan dana dari sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Uang itu kemudian diterima oleh Kamaluddin dan dibagikan ke anggota DPRD Sumut masing-masing sebesar Rp12,5 juta.

Kemudian, untuk Sekretaris Fraksi masing-masing Rp17,5 juta, masing-masing ketua fraksi menerima Rp20 juta, Wakil Ketua DPRD masing-masing Rp40 juta, dan Ketua DPRD menerima Rp77,5 juta.

Pola yang sama terjadi pada tahun berikutnya. Pada November 2013, Nurdin Lubis kembali menyampaikan permintaan Gatot agar pimpinan DPRD Sumut mengabulkan Ranperda tentang Perubahan APBD Provinsi Sumut Tahun 2013.

Kamaluddin kembali meminta ‘uang ketok’ untuk DPRD Sumut yang jumlahnya lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yakni Rp2,55 miliar. Rinciannya, anggota DPRD masing-masing menerima Rp15 juta, anggota Badan Anggaran masing-masing Rp10 juta, Sekretaris Fraksi masing-masing mendapat tambahan Rp10 juta.

Kemudian, ketua fraksi masing-masing mendapat tambahan Rp15 juta, Wakil Ketua DPRD masing-masing mendapatkan tambahan Rp50 juta, serta tambahan Rp150 juta untuk Ketua DPRD.

Uang tersebut diperoleh Gatot dari beberapa SKPD di lingkungan pemerintah Provinsi Sumut yang dikumpulkan oleh Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Sumut, Baharuddin Siagian.

Setelah uang diterima, pada 22 November 2013 di Sidang Paripurna, pimpinan dan anggota DPRD Sumut menyetujui Ranperda tentang Perubahan APBD Provinsi Sumut Tahun 2013.

Pada November 2014, Gatot bertemu dengan pimpinan DPRD Sumut, yakni Kamaluddin, Chaidir, Sigit, dan Afan. Dalam pertemuan tersebut kamaluddin dan Sigit meminta proyek Belanja Modal sebesar Rp1 triliun untuk seluruh anggota DPRD Sumut terkait persetujuan Ranperda tentang APBD Provinsi Sumut Tahun 2014.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/