26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kawinkan Ulos Batak dan Jarit Jawa

Foto: Chandra Satwika/Jawa Pos Dari kanan depan, Rolasniati Hutauruk, Mery Situmeang, Edra Cordina Munthe, dan teman-temannya menampilkan tari tortor di aula Yayasan Lembaga Kesejahteraan Keluarga (LKK) Ngesti Rahayu.
Foto: Chandra Satwika/Jawa Pos
Dari kanan depan, Rolasniati Hutauruk, Mery Situmeang, Edra Cordina Munthe, dan teman-temannya menampilkan tari tortor di aula Yayasan Lembaga Kesejahteraan Keluarga (LKK) Ngesti Rahayu.

Pergi jauh meninggalkan kampung halaman tidak berarti harus lupa dengan akar tradisi. Sebaliknya, tradisi bisa terus berkembang dengan mengadopsi nilai-nilai budaya setempat. Para penari tortor ini membuktikannya.

————–

DENGAN gerakan lemah gemulai, sepuluh perempuan penari itu mengikuti iringan musik gondang. Ritmenya berubah-ubah. Semula pelan, lalu semakin cepat, kemudian kembali melambat. Tabuhan musik khas Sumatera Utara tersebut diiringi nyanyian berbahasa Batak. “Amang pardoal pargonci (bapak pemain musik mulai mainkan, Red),” begitu bunyi salah satu syair dalam pembuka lagu itu.

Dibalut kebaya cokelat dan kain ulos berwarna dominan merah dan kuning, para penari terus melenggang ke sana-ke mari. Keringat membasahi dahi mereka yang terlilit kain sortali.

Kain merah dan kuning tersebut menyerupai mahkota putri raja. Ketika para perempuan itu manortor atau melakukan gerak tari tortor, kecakapan menggerakan tangan dan kaki banyak diperagakan.

Ada pakem atau dasar tersendiri untuk melakukan semua itu. Misalnya, gerakan tortor mula-mula. Kedua telapak tangan penari tertangkup rapat, lalu menempel tepat di depan ulu hati.

Senyum terus menghiasi wajah para penari. Gerakannya mirip putri yang menyapa. Saat itu para penari memang ‘menyapa’ para kiai, pendeta, pandita, dan segenap pimpinan agama lain. Mereka hadir dalam seminar bertemakan Upaya Melestarikan Nilai-Nilai Pancasila di Tengah Masyarakat Majemuk.

Acara berlangsung di Aula Yayasan Lembaga Kesejahteraan Keluarga (LKK) Ngesti Rahayu, Jalan Kwadengan Utara, Kecamatan Sidoarjo, Sabtu (8/10) siang lalu diselenggarakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sidoarjo.

Ketua Tim Tari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Nurhetty Ramayana Hutabarat menuturkan bahwa tarian tortor memiliki banyak arti. “Misalnya, wujud syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, hidup berdampingan dengan sesama makhluk Tuhan, dan mengabdi kepada para raja,” jelasnya.

Dia mencontohkan gerakan tangan yang menengadah ke atas dengan menghadapkan jari-jemari ke belakang. Gerakan tersebut bernama tortor somba. “Pertanda syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata perempuan 50 tahun itu. Ada juga gerakan tangan di samping pinggang dan membolak-balikkan telapak tangan seperti mengipas.

Itu adalah gerakan tortor siboru. Sekitar sepuluh menit mereka melakukan manortor. Semua dilakukan dengan mangurdot atau mengikuti irama.

Foto: Chandra Satwika/Jawa Pos Dari kanan depan, Rolasniati Hutauruk, Mery Situmeang, Edra Cordina Munthe, dan teman-temannya menampilkan tari tortor di aula Yayasan Lembaga Kesejahteraan Keluarga (LKK) Ngesti Rahayu.
Foto: Chandra Satwika/Jawa Pos
Dari kanan depan, Rolasniati Hutauruk, Mery Situmeang, Edra Cordina Munthe, dan teman-temannya menampilkan tari tortor di aula Yayasan Lembaga Kesejahteraan Keluarga (LKK) Ngesti Rahayu.

Pergi jauh meninggalkan kampung halaman tidak berarti harus lupa dengan akar tradisi. Sebaliknya, tradisi bisa terus berkembang dengan mengadopsi nilai-nilai budaya setempat. Para penari tortor ini membuktikannya.

————–

DENGAN gerakan lemah gemulai, sepuluh perempuan penari itu mengikuti iringan musik gondang. Ritmenya berubah-ubah. Semula pelan, lalu semakin cepat, kemudian kembali melambat. Tabuhan musik khas Sumatera Utara tersebut diiringi nyanyian berbahasa Batak. “Amang pardoal pargonci (bapak pemain musik mulai mainkan, Red),” begitu bunyi salah satu syair dalam pembuka lagu itu.

Dibalut kebaya cokelat dan kain ulos berwarna dominan merah dan kuning, para penari terus melenggang ke sana-ke mari. Keringat membasahi dahi mereka yang terlilit kain sortali.

Kain merah dan kuning tersebut menyerupai mahkota putri raja. Ketika para perempuan itu manortor atau melakukan gerak tari tortor, kecakapan menggerakan tangan dan kaki banyak diperagakan.

Ada pakem atau dasar tersendiri untuk melakukan semua itu. Misalnya, gerakan tortor mula-mula. Kedua telapak tangan penari tertangkup rapat, lalu menempel tepat di depan ulu hati.

Senyum terus menghiasi wajah para penari. Gerakannya mirip putri yang menyapa. Saat itu para penari memang ‘menyapa’ para kiai, pendeta, pandita, dan segenap pimpinan agama lain. Mereka hadir dalam seminar bertemakan Upaya Melestarikan Nilai-Nilai Pancasila di Tengah Masyarakat Majemuk.

Acara berlangsung di Aula Yayasan Lembaga Kesejahteraan Keluarga (LKK) Ngesti Rahayu, Jalan Kwadengan Utara, Kecamatan Sidoarjo, Sabtu (8/10) siang lalu diselenggarakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sidoarjo.

Ketua Tim Tari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Nurhetty Ramayana Hutabarat menuturkan bahwa tarian tortor memiliki banyak arti. “Misalnya, wujud syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, hidup berdampingan dengan sesama makhluk Tuhan, dan mengabdi kepada para raja,” jelasnya.

Dia mencontohkan gerakan tangan yang menengadah ke atas dengan menghadapkan jari-jemari ke belakang. Gerakan tersebut bernama tortor somba. “Pertanda syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata perempuan 50 tahun itu. Ada juga gerakan tangan di samping pinggang dan membolak-balikkan telapak tangan seperti mengipas.

Itu adalah gerakan tortor siboru. Sekitar sepuluh menit mereka melakukan manortor. Semua dilakukan dengan mangurdot atau mengikuti irama.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/