Oleh: AZRUL ANANDA
Kapan kita kali terakhir mengerahkan 100 persen kemampuan? Jangan-jangan tidak pernah. Ayah angkat saya dulu bilang, di Indonesia dia lihat segalanya banyak 97 persen, dan 3 persen terakhirnya entah ke mana.
***
Ayah angkat saya di Amerika dulu pekerjaannya jurnalis/pemilik koran dan guru/dosen English/journalism. Hobinya main biliar dan bikin perabotan rumah.
Waktu saya SMA dan jadi anaknya di Kansas, dia sering sibuk di garasi membuat pintu, lemari, atau perabotan/aksesori rumah lain dari kayu. Waktu dia ikut istri pindah ke Negara Bagian Indiana, banyak bagian rumah barunya yang dia buat sendiri.
Pernah waktu saya berkunjung, dengan bangga dia menunjukkan kamar lantai atas, tempat saya untuk tidur. Hampir semua bagian kamar itu dia sendiri yang membuat. Mulai anak tangga, dinding-dinding, pintu, dan lain sebagainya.
Orangnya memang telaten dan rapi.
Belasan kali dia sudah ke Indonesia. Mengajarkan apa yang dia ajarkan ke saya pada hampir semua koran di bawah grup Jawa Pos. Keliling dari Aceh sampai Papua. Dengan cara yang sabar, seperti seorang ayah dan guru. Tidak seperti konsultan atau ”orang tinggi” lain yang kadang datang dengan pendekatan sok tahu.
Setelah beberapa kali kunjungan, ada satu momen yang membuat dia mencetuskan pendapat tentang ”Tiga persen terakhir” itu.
Mulanya adalah saat dia mengunjungi apartemen saya di Surabaya. Pada tahun-tahun pertama setelah kembali ke Indonesia, saya memang tinggal di apartemen. Baru pindah ke ”darat” setelah berkeluarga dan punya anak dua.
Dia melihat sekeliling apartemen yang baru saya renovasi interiornya. Lalu dia menunjuk bagian-bagian finishing di sekeliling dinding.
”Lihat ini,” katanya sambil menunjuk lekukan tempat atap dan dinding bertemu. ”Ini rasanya Indonesia sekali. Bisa mengerjakan sampai 97 persen, tapi 3 persen terakhirnya meleset.”
Ayah angkat saya tidak mengucapkan itu dengan nada menghina. Dia lebih menggunakan nada sedih. Dia memang selalu begitu kalau melihat sesuatu yang tidak dikerjakan sesuai potensi dan kemampuan. Maklum, jiwanya memang seorang pendidik sejati.
Kalau dilihat sekilas, lekukan itu memang oke-oke saja. Bahkan bagi kebanyakan orang mungkin masuk level ”baik”. Tapi, kalau diperhatikan, memang tidak bisa masuk kategori ”rapi” atau ”hebat”.