JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Setara Institute mengusulkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bisa membatasi pencalonan perwira tinggi TNI dan Polri. Undang Undang (UU) Pilkada rencananya bakal direvisi sebagai landasan Pilkada Serentak 2020.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menyampaikan revisi UU Pilkada diharapkan bisa membatasi aparat keamanan agar tak ikut dalam politik praktis sesuai mandat reformasi.
“Batasi saja TNI dan Polri. Jadi dia harus non-aktif sekurang-kurangnya dua tahun lah. Kenapa dua tahun? Itu batas yang wajar dia tidak lagi punya jejaring yang efektif,” kata Ismail di kantor Setara Institute, Jakarta, Selasa (8/10).
Dia mengatakan perwira tinggi TNI-Polri sering kali maju pilkada meski masih aktif menjabat. Hal ini dinilai berpotensi melanggar netralitas aparat negara.
Ismail mencontohkan kasus Inspektur Jenderal Murad Ismail yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Maluku pada Pilkada 2018. Saat menyatakan maju, Murad masih aktif sebagai Komandan Korps Brimob. Kemudian di jajaran TNI ada Letjen Edy Rahmayadi. Pada Pilkada Serentak 2018, Edy maju sebagai calon Gubernur Sumut saat masih menjabat Pangkostrad.
“Ya, itu harus diatur di UU Pilkada secara lebih tegas karena hari ini kan tidak diatur dengan tegas,” ujarnya.
Pada Pilkada 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut jumlah anggota TNI dan Polri aktif yang maju pada kontestasi politik lima tahunan itu meningkat dari tahun sebelumnya.
Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada akan direvisi menjelang Pilkada Serentak 2020. Mendagri Tjahjo Kumolo mengajukan permohonan revisi undang-undang itu. Dia menyoroti masa kampanye yang berlarut-larut, penerapan e-rekap, dan status kelembagaan Bawaslu.
“Intinya perlu ada perubahan undang-undang politik pemilu dan Pilkada secara komprehensif. Perlu masuk pada skala prioritas prolegnas tahun 2020 oleh anggota DPR yang baru,” ujar Tjahjo di Kompleks DPR, Jakarta, Kamis (26/9). (bbs/azw)