25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Timbang Badan Oke, Mau Bertanding Alasan Diare

Yani Malhendo, Petinju yang Pernah Ditakuti Juara Dunia Manny ‘Pacman’  Pacquiao

Petinju Filipina Manny “Pacman” Pacquiao boleh saja merasa paling sukses saat ini. Dia adalah penyandang gelar juara dunia di delapan kelas yang berbeda dan lusa (8/5) akan bertanding di Amerika Serikat (AS). Tetapi, siapa sangka dia ternyata sempat keder menghadapi petinju Indonesia. Bagaimana ceritanya”

SIDIK M. TUALEKA, Surabaya

Petinju Indonesia yang pernah membuat keder Pacman itu adalah Yani Malhendo. Kini pria 43 tahun itu sehari-harinya adalah pelatih tinju di Sasana Rokatenda.

Ketika ditanya soal sosok Pacman yang lusa akan mempertahankan gelar kelas welter (66,6 kg) melawan Shane Mosley di Las Vegas, ingatan Yani melayang pada peristiwa 15 tahun lalu.

Kala itu Pacman memulai karirnya dalam tinju profesional. Peristiwa itu terjadi pada 24 Oktober 1996, dalam pertandingan perbaikan peringkat World Boxing Organization (WBO) di Filipina.

Saat itu Pacman dipersiapkan melawan Yani Malhendo, yang tercatat sebagai petinju asal Sasana Pirih, Surabaya. Yani berada di peringkat kelima dunia kelas bantam junior (52,2 kg) di badan tinju dunia itu.

Sayang, pertarungan yang bisa menjadi sejarah dalam karir dua petinju tersebut gagal berlangsung. Padahal, semua tahapan sebelum pertarungan telah dilewati dua petinju. Termasuk general check-up dan proses timbang badan. Namun, Pacman takut melawan Yani Malhendo. Dia meminta mundur dari pertarungan tersebut dengan alasan mengalami infeksi pencernaan.

Saya juga kaget mendengar pengumuman tersebut. Katanya, dia (Pacman, Red) salah makan dan mengalami diare hebat. Tapi, saya tidak percaya bila dia sakit. Tapi, rupanya dia takut dengan saya. Sebab, sebelumnya para dokter menyatakan tidak ada gangguan pada kesehatan kami berdua,” kenang Yani.

Dia menceritakan, pembatalan secara sepihak itu membuat berang mendiang Eddy Pirih, manajer Sasana Pirih. Dia tidak terima dengan pembatalan pertarungan dengan total bayaran USD 3.500 itu. Eddy merasa sudah mengorbankan banyak uang.

“Pak Eddy merasa sudah habis banyak. Akhirnya semua ngamuk-ngamuk dan memaksakan agar pertarungan tersebut harus tetap diselenggarakan,” lanjut Yani.
Nah, untuk menghibur Yani dan rombongannya, pihak promotor sengaja mengganti posisi Pacman dengan petinju yang lain, Jats Maecad, yang juga dari kelas yang sama. Tapi, untuk menyemangati dan menutup kesalahan mereka, pihak promotor kala itu menaikkan total bayaran menjadi USD 4.500.

“Karena telanjur panas, saya berhasil memukul KO Jats pada ronde kedua. Itu adalah pertandingan tercepat yang terjadi saat itu di Filipina. Kalau lawannya Pacman, mungkin nasibnya juga sama,” koar suami Sri Mulyani itu.
Wajar saja Yani sesumbar seperti itu. Sebab, saat itu Yani berada dalam usia emasnya dalam dunia tinju, yaitu 28 tahun. Sementara Pacman baru menanjak usia 18 tahun, sepuluh tahun lebih muda daripada Yani. Itu pun Pacman baru setahun berkecimpung di dunia tinju profesional.

“Ya, saat itu saya memang melihat dia masih sangat imut dan polos. Rupanya jam terbang dia di tinju profesional juga belum banyak. Jadi, wajar saja bila dia mengambil keputusan mundur dari pertarungan saat itu,” lanjut petinju kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, 43 tahun lalu itu.

Padahal, tiga bulan sebelum pertarungan tersebut, Pacman sempat menganvaskan petinju Indonesia lainnya, Ippo Gala. Pada pertarungan yang berlangsung di Mandaluyong, Filipina, Ippo dinyatakan kalah technical knock out (TKO) pada ronde kedua.

Nah, setelah gagalnya pertarungan tersebut, Pacman baru merebut gelar kali pertama dalam kejuaraan tinju dunia kelas terbang (50,8 kg) versi WBC pada 1998. Dia menang KO atas petinju Thailand Chokchai Chockvivat.

Sementara itu, pada tahun yang sama, Yani berhasil menempati peringkat pertama kelas bantam Junior WBO. “Sebenarnya saya harus menjalani mandatory fight melawan juara sebenarnya, Erik Morales, dari Meksiko. Namun, saat itu kondisi politik negara Indonesia tidak stabil, memaksa pertarungan itu gagal berlangsung,” ujar Yani.
Kini kehidupan Pacman dan Yani berbeda jauh. Pacman, petinuju 33 tahun itu, saat ini sedang berada di puncak karir. Dia telah sukses menjadi juara dunia di delapan kelas, mulai kelas terbang (51 kg) hingga welter super (69 kg).
Di sebuah majalah olahraga internasional disebutkan, pendapatan Pacman tahun lalu sekitar Rp 276 miliar.

Sedangkan Yani, meski enggan menyebutkan penghasilan selama setahun, hanya mempunyai sepeda motor bebek, Yamaha Vega R, yang dipakainya setiap pergi melatih. Rumah yang ditempatinya di Sidoarjo merupakan pemberian Menpora pada era Adhyaksa Dault.

“Ya, mungkin garis tangan kami berbeda. Tapi, saya tetap bersyukur dengan keadaan yang ada,” lanjut Yani.
Tetapi, dia masih menyimpan ambisi. Yani berharap, dari polesan tangannya akan lahir juara dunia. Meskipun petinju binaan Yani itu susah menyaingi Pacman, petinju yang di masa mudanya pernah takut menghadapinya. (c4/kum/jpnn)

Yani Malhendo, Petinju yang Pernah Ditakuti Juara Dunia Manny ‘Pacman’  Pacquiao

Petinju Filipina Manny “Pacman” Pacquiao boleh saja merasa paling sukses saat ini. Dia adalah penyandang gelar juara dunia di delapan kelas yang berbeda dan lusa (8/5) akan bertanding di Amerika Serikat (AS). Tetapi, siapa sangka dia ternyata sempat keder menghadapi petinju Indonesia. Bagaimana ceritanya”

SIDIK M. TUALEKA, Surabaya

Petinju Indonesia yang pernah membuat keder Pacman itu adalah Yani Malhendo. Kini pria 43 tahun itu sehari-harinya adalah pelatih tinju di Sasana Rokatenda.

Ketika ditanya soal sosok Pacman yang lusa akan mempertahankan gelar kelas welter (66,6 kg) melawan Shane Mosley di Las Vegas, ingatan Yani melayang pada peristiwa 15 tahun lalu.

Kala itu Pacman memulai karirnya dalam tinju profesional. Peristiwa itu terjadi pada 24 Oktober 1996, dalam pertandingan perbaikan peringkat World Boxing Organization (WBO) di Filipina.

Saat itu Pacman dipersiapkan melawan Yani Malhendo, yang tercatat sebagai petinju asal Sasana Pirih, Surabaya. Yani berada di peringkat kelima dunia kelas bantam junior (52,2 kg) di badan tinju dunia itu.

Sayang, pertarungan yang bisa menjadi sejarah dalam karir dua petinju tersebut gagal berlangsung. Padahal, semua tahapan sebelum pertarungan telah dilewati dua petinju. Termasuk general check-up dan proses timbang badan. Namun, Pacman takut melawan Yani Malhendo. Dia meminta mundur dari pertarungan tersebut dengan alasan mengalami infeksi pencernaan.

Saya juga kaget mendengar pengumuman tersebut. Katanya, dia (Pacman, Red) salah makan dan mengalami diare hebat. Tapi, saya tidak percaya bila dia sakit. Tapi, rupanya dia takut dengan saya. Sebab, sebelumnya para dokter menyatakan tidak ada gangguan pada kesehatan kami berdua,” kenang Yani.

Dia menceritakan, pembatalan secara sepihak itu membuat berang mendiang Eddy Pirih, manajer Sasana Pirih. Dia tidak terima dengan pembatalan pertarungan dengan total bayaran USD 3.500 itu. Eddy merasa sudah mengorbankan banyak uang.

“Pak Eddy merasa sudah habis banyak. Akhirnya semua ngamuk-ngamuk dan memaksakan agar pertarungan tersebut harus tetap diselenggarakan,” lanjut Yani.
Nah, untuk menghibur Yani dan rombongannya, pihak promotor sengaja mengganti posisi Pacman dengan petinju yang lain, Jats Maecad, yang juga dari kelas yang sama. Tapi, untuk menyemangati dan menutup kesalahan mereka, pihak promotor kala itu menaikkan total bayaran menjadi USD 4.500.

“Karena telanjur panas, saya berhasil memukul KO Jats pada ronde kedua. Itu adalah pertandingan tercepat yang terjadi saat itu di Filipina. Kalau lawannya Pacman, mungkin nasibnya juga sama,” koar suami Sri Mulyani itu.
Wajar saja Yani sesumbar seperti itu. Sebab, saat itu Yani berada dalam usia emasnya dalam dunia tinju, yaitu 28 tahun. Sementara Pacman baru menanjak usia 18 tahun, sepuluh tahun lebih muda daripada Yani. Itu pun Pacman baru setahun berkecimpung di dunia tinju profesional.

“Ya, saat itu saya memang melihat dia masih sangat imut dan polos. Rupanya jam terbang dia di tinju profesional juga belum banyak. Jadi, wajar saja bila dia mengambil keputusan mundur dari pertarungan saat itu,” lanjut petinju kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, 43 tahun lalu itu.

Padahal, tiga bulan sebelum pertarungan tersebut, Pacman sempat menganvaskan petinju Indonesia lainnya, Ippo Gala. Pada pertarungan yang berlangsung di Mandaluyong, Filipina, Ippo dinyatakan kalah technical knock out (TKO) pada ronde kedua.

Nah, setelah gagalnya pertarungan tersebut, Pacman baru merebut gelar kali pertama dalam kejuaraan tinju dunia kelas terbang (50,8 kg) versi WBC pada 1998. Dia menang KO atas petinju Thailand Chokchai Chockvivat.

Sementara itu, pada tahun yang sama, Yani berhasil menempati peringkat pertama kelas bantam Junior WBO. “Sebenarnya saya harus menjalani mandatory fight melawan juara sebenarnya, Erik Morales, dari Meksiko. Namun, saat itu kondisi politik negara Indonesia tidak stabil, memaksa pertarungan itu gagal berlangsung,” ujar Yani.
Kini kehidupan Pacman dan Yani berbeda jauh. Pacman, petinuju 33 tahun itu, saat ini sedang berada di puncak karir. Dia telah sukses menjadi juara dunia di delapan kelas, mulai kelas terbang (51 kg) hingga welter super (69 kg).
Di sebuah majalah olahraga internasional disebutkan, pendapatan Pacman tahun lalu sekitar Rp 276 miliar.

Sedangkan Yani, meski enggan menyebutkan penghasilan selama setahun, hanya mempunyai sepeda motor bebek, Yamaha Vega R, yang dipakainya setiap pergi melatih. Rumah yang ditempatinya di Sidoarjo merupakan pemberian Menpora pada era Adhyaksa Dault.

“Ya, mungkin garis tangan kami berbeda. Tapi, saya tetap bersyukur dengan keadaan yang ada,” lanjut Yani.
Tetapi, dia masih menyimpan ambisi. Yani berharap, dari polesan tangannya akan lahir juara dunia. Meskipun petinju binaan Yani itu susah menyaingi Pacman, petinju yang di masa mudanya pernah takut menghadapinya. (c4/kum/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/