28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Bambang yang Sedang Bimbang

Don Kardono
Don Kardono

Oleh: Don Kardono

Juara Konvensi Partai Demokrat (PD) sejatinya sudah sangat jelas! Tak ada secuilpun yang membuat bimbang. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dengan margin eror 2,2 persen, menempatkan Dahlan Iskan sebagai peringkat nomor wahid, dengan angka 16,3 persen. Runner upnya, Marzuki Ali, 3,9 persen, dan peringkat ketiga Pramono Edhi Wibowo 3,3 persen. Baru disusul Mantan Menperin Gita Wirjawan 2,7 persen, Anies Baswedan 1,9 persen, Ali Masykur Musa 1,8 persen, Irman Gusman 1,5 persen.

Nama-nama peserta konvensi lain, seperti Endriartono Sutarto, Sinyo Harry Sarundajang, Hayono Isman, Dino Patti Djalal, berada di bawah 1,5 persen. Apa arti itu semua? Hasil “PD Idol” itu sudah tegas, dan final. Kalau instrument “konvensi” itu betul-betul dijadikan pijakan Presiden SBY untuk menentukan calon pemimpin dari PD, pilihannya jelas. Dahlan Iskan! Sengada lawan, begitu orang Maluku berkelakar. Bahkan kalaupun mau dibuat margin eror hingga 10 persen pun, pemenangnya tak akan berubah. Tetap, Dahlan Iskan.

Ini fakta atas survei yang sampelnya 1.997 orang, pada tingkat kepercayaan 95 persen. Responden terpilih diwawancara dengan tatap muka oleh interviewers yang terlatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa atau kelurahan yang terdiri dari 10 responden. Untuk menjaga quality control (QC), sebanyak 20 persen dari responden dipilih didatangi kembali oleh supervisor secara acak. Dan tidak ditemukan kesalahan yang berarti.

Wawancara lapangan sudah dilakukan sejak 20-24 April 2014. Masih sangat aktual, masih hangat berasap. Pertanyaannya, mengapa SBY tidak segera membuat keputusan? Biar cepat melakukan konsolidasi? Menghimpun kekuatan? Membuat analisa dan bersiap menghadapi medan laga yang sesungguhnya, Pilpres 2014? Mengapa harus diulur-ulur? Menunggu wangsit dari mana lagi? Menanti suara langit seperti apa lagi?

Mengapa Bambang Yudhoyono justru terkesan bimbang? Ragu-ragu galau? Tidak pede? Maju-mundur? Apakah orang nomor satu di negeri ini sedang ‘buying time’ sambil menunggu pergerakan calon kontestan lain dan mengamati zig zag rival-rivalnya?

Bisa jadi, SBY sedang membungkus keraguan itu dengan survei lagi, pasca konvensi Jakarta 27 April lalu, dan baru akan keluar hasilnya pada 15 Mei mendatang? Itupun, masih harus digodog lagi oleh Majelis Tinggi, yang rencananya baru dipublish pada 19 Mei? Sementara 20 Mei adalah deadline pendaftaran capres-cawapres? Dalam bahasa sepak bola, menanti detik-detik terakhir, menunggu bola muntah. Dengan istilah lain, semua tokoh yang diminta ikut konvensi itu “digembok” hingga batas akhir pencapres-cawapresan?

Apakah ini efek dari perolehan PD yang melorot hingga tinggal 10 persen di Pileg 9 April lalu? Sehingga PD tidak pede mencapreskan peserta konvensi? Karena elektabilitas dan popularitas mereka terlampau jauh dari Jokowi, Prabowo, Aburizal Bakrie dan Wiranto?

Ataukah SBY sedang berhitung, mau bergabung dengan koalisi lain atau memimpin koalisi strategis baru? Apakah akan bekerjasama dengan PDI-P dan Jokowi? Apakah bergabung dengan Prabowo Subianto dan Gerindra? Atau berkoalisi dengan Partai Golkar dan Aburizal Bakrie? Atau akan berhitung memimpin poros koalisi baru bersama kawan-kawan lamanya, PAN, PKB, PKS, dan PPP?

Tidak ada yang tahu pasti. Gembok SBY memang cukup paten. Gembok itu bahkan mengunci semua parpol untuk bergerak dan melakukan komunikasi politik. Pun juga PDI-P yang ternyata belum cukup suara atau kursi untuk mendapatkan satu boarding pass capres-cawapres. Apalagi Golkar dan Gerindra, semakin tergantung oleh kunci gembok SBY. Sementara SBY justru bisa memainkan empat kartu, dan cukup menentukan.

Pertanyaannya, mau dikemanakan tokoh-tokoh konvensi itu? Mau dibiarkan “beku” di dalam ruang hampa Partai Demokrat? Siapa yang mau dimajukan, entah sebagai capres –jika membangun koalisi baru— atau cawapres –jika bergabung dengan tiga poros yang lebih banyak suaranya dari PD–. Bagi SBY, siapa saja tidak masalah, karena truf masih dipegang olehnya.

Bagaimana dengan nasib peserta? Tokoh-tokoh peserta konvensi yang oleh Fahri Hamzah, politisi muda PKS disebut sebagai orang-orang genius, tokoh-tokoh terbaik negeri? Bagaimana nasib dan eksistensi mereka? Haruskah mereka kandas, tenggelam dan hilang dari peredaran? Inilah yang istilah orang Jakarta, “Enak di elo, gak enak di gua!”

Bagaimana kalau SBY nantinya akan mengumumkan, bahwa konvensi hanya untuk mencari capres saja. Titik. Karena suara PD tidak signifikan, dan tidak bisa mengusung capres sendiri, maka partai berlogo mirip Mercedez Benz itu hanya cukup menitipkan cawapres. Dan cawapres itu tidak masuk dalam klausul konvensi. Karena konvensi bukan ajang mencari cawapres, maka kalau scenario PD hanya akan menjagokan satu cawapres, pilihannya tidak harus yang juara konvensi.

Artinya, meskipun Dahlan Iskan di papan atas, nomor satu, juara, tak ada lawan dan menjadi kader terbaik PD, SBY bisa saja memilih orang lain. Bisa dari dalam konvensi, bisa juga dari luar konvensi. Jika pilihan SBY seperti itu, tidak salah secara politis. Tidak salah dalam berpolitik praktis, untuk sekedar kembali merebut kekuasaan, sebisanya. Hanya tidak etis, kehilangan wibawa, dan PD kehilangan masa depan. PD tidak lebih hanya sebagai “kuburan massal” bagi kader terbaiknya saja.

Sopan santun berpolitik itu tidak berlaku saat keadaan darurat. PD mungkin sudah berada di zona darurat, sehingga bisa menghalalkan etika yang dari dulu didengungkan oleh Presiden SBY.

Kalau sekarang logikanya dibalik, bagaimana jika peserta konvensi itu ditawari atau menemukan jalan untuk bergabung dengan Capres lain? Dengan atau tanpa diusulkan oleh partainya? Dia sebagai perseorangan, sebagai pribadi? Dia sebagai professional yang dinilai memiliki prospek ke depan untuk membangun negeri yang lebih baik? Juga memiliki resourches untuk memenangkan jagoannya?

Apakah tokoh peserta konvensi yang menjalin komunikasi politik dengan pihak lain itu dianggap “tidak etis” atau “tidak sopan”? Lagi-lagi menggunakan istilah “keadaan darurat” semua bisa terjadi. Ingat, koalisi PDI-P Megawati dengan Gerindra Prabowo Subianto saat Pilpres 2009 lalu? Keputusan mereka berkoalisi dilakukan pada detik-detik terakhir mendekati batas waktu pendaftaran.

Sopan santun pun bisa dan boleh diabaikan, demi kepentingan yang lebih besar, lebih mendesak, dan nasional. Tak perlu bimbang, atau menunggu yang sedang bimbang. Tak perlu ragu, go ahead aja. Merdeka itu bebas dari gembok! Bebas melepaskan diri dari sandera apapun bentuknya!

(*/Penulis adalah Pemred Indopos, Ketua Forum Pemred JPNN)

Don Kardono
Don Kardono

Oleh: Don Kardono

Juara Konvensi Partai Demokrat (PD) sejatinya sudah sangat jelas! Tak ada secuilpun yang membuat bimbang. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dengan margin eror 2,2 persen, menempatkan Dahlan Iskan sebagai peringkat nomor wahid, dengan angka 16,3 persen. Runner upnya, Marzuki Ali, 3,9 persen, dan peringkat ketiga Pramono Edhi Wibowo 3,3 persen. Baru disusul Mantan Menperin Gita Wirjawan 2,7 persen, Anies Baswedan 1,9 persen, Ali Masykur Musa 1,8 persen, Irman Gusman 1,5 persen.

Nama-nama peserta konvensi lain, seperti Endriartono Sutarto, Sinyo Harry Sarundajang, Hayono Isman, Dino Patti Djalal, berada di bawah 1,5 persen. Apa arti itu semua? Hasil “PD Idol” itu sudah tegas, dan final. Kalau instrument “konvensi” itu betul-betul dijadikan pijakan Presiden SBY untuk menentukan calon pemimpin dari PD, pilihannya jelas. Dahlan Iskan! Sengada lawan, begitu orang Maluku berkelakar. Bahkan kalaupun mau dibuat margin eror hingga 10 persen pun, pemenangnya tak akan berubah. Tetap, Dahlan Iskan.

Ini fakta atas survei yang sampelnya 1.997 orang, pada tingkat kepercayaan 95 persen. Responden terpilih diwawancara dengan tatap muka oleh interviewers yang terlatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa atau kelurahan yang terdiri dari 10 responden. Untuk menjaga quality control (QC), sebanyak 20 persen dari responden dipilih didatangi kembali oleh supervisor secara acak. Dan tidak ditemukan kesalahan yang berarti.

Wawancara lapangan sudah dilakukan sejak 20-24 April 2014. Masih sangat aktual, masih hangat berasap. Pertanyaannya, mengapa SBY tidak segera membuat keputusan? Biar cepat melakukan konsolidasi? Menghimpun kekuatan? Membuat analisa dan bersiap menghadapi medan laga yang sesungguhnya, Pilpres 2014? Mengapa harus diulur-ulur? Menunggu wangsit dari mana lagi? Menanti suara langit seperti apa lagi?

Mengapa Bambang Yudhoyono justru terkesan bimbang? Ragu-ragu galau? Tidak pede? Maju-mundur? Apakah orang nomor satu di negeri ini sedang ‘buying time’ sambil menunggu pergerakan calon kontestan lain dan mengamati zig zag rival-rivalnya?

Bisa jadi, SBY sedang membungkus keraguan itu dengan survei lagi, pasca konvensi Jakarta 27 April lalu, dan baru akan keluar hasilnya pada 15 Mei mendatang? Itupun, masih harus digodog lagi oleh Majelis Tinggi, yang rencananya baru dipublish pada 19 Mei? Sementara 20 Mei adalah deadline pendaftaran capres-cawapres? Dalam bahasa sepak bola, menanti detik-detik terakhir, menunggu bola muntah. Dengan istilah lain, semua tokoh yang diminta ikut konvensi itu “digembok” hingga batas akhir pencapres-cawapresan?

Apakah ini efek dari perolehan PD yang melorot hingga tinggal 10 persen di Pileg 9 April lalu? Sehingga PD tidak pede mencapreskan peserta konvensi? Karena elektabilitas dan popularitas mereka terlampau jauh dari Jokowi, Prabowo, Aburizal Bakrie dan Wiranto?

Ataukah SBY sedang berhitung, mau bergabung dengan koalisi lain atau memimpin koalisi strategis baru? Apakah akan bekerjasama dengan PDI-P dan Jokowi? Apakah bergabung dengan Prabowo Subianto dan Gerindra? Atau berkoalisi dengan Partai Golkar dan Aburizal Bakrie? Atau akan berhitung memimpin poros koalisi baru bersama kawan-kawan lamanya, PAN, PKB, PKS, dan PPP?

Tidak ada yang tahu pasti. Gembok SBY memang cukup paten. Gembok itu bahkan mengunci semua parpol untuk bergerak dan melakukan komunikasi politik. Pun juga PDI-P yang ternyata belum cukup suara atau kursi untuk mendapatkan satu boarding pass capres-cawapres. Apalagi Golkar dan Gerindra, semakin tergantung oleh kunci gembok SBY. Sementara SBY justru bisa memainkan empat kartu, dan cukup menentukan.

Pertanyaannya, mau dikemanakan tokoh-tokoh konvensi itu? Mau dibiarkan “beku” di dalam ruang hampa Partai Demokrat? Siapa yang mau dimajukan, entah sebagai capres –jika membangun koalisi baru— atau cawapres –jika bergabung dengan tiga poros yang lebih banyak suaranya dari PD–. Bagi SBY, siapa saja tidak masalah, karena truf masih dipegang olehnya.

Bagaimana dengan nasib peserta? Tokoh-tokoh peserta konvensi yang oleh Fahri Hamzah, politisi muda PKS disebut sebagai orang-orang genius, tokoh-tokoh terbaik negeri? Bagaimana nasib dan eksistensi mereka? Haruskah mereka kandas, tenggelam dan hilang dari peredaran? Inilah yang istilah orang Jakarta, “Enak di elo, gak enak di gua!”

Bagaimana kalau SBY nantinya akan mengumumkan, bahwa konvensi hanya untuk mencari capres saja. Titik. Karena suara PD tidak signifikan, dan tidak bisa mengusung capres sendiri, maka partai berlogo mirip Mercedez Benz itu hanya cukup menitipkan cawapres. Dan cawapres itu tidak masuk dalam klausul konvensi. Karena konvensi bukan ajang mencari cawapres, maka kalau scenario PD hanya akan menjagokan satu cawapres, pilihannya tidak harus yang juara konvensi.

Artinya, meskipun Dahlan Iskan di papan atas, nomor satu, juara, tak ada lawan dan menjadi kader terbaik PD, SBY bisa saja memilih orang lain. Bisa dari dalam konvensi, bisa juga dari luar konvensi. Jika pilihan SBY seperti itu, tidak salah secara politis. Tidak salah dalam berpolitik praktis, untuk sekedar kembali merebut kekuasaan, sebisanya. Hanya tidak etis, kehilangan wibawa, dan PD kehilangan masa depan. PD tidak lebih hanya sebagai “kuburan massal” bagi kader terbaiknya saja.

Sopan santun berpolitik itu tidak berlaku saat keadaan darurat. PD mungkin sudah berada di zona darurat, sehingga bisa menghalalkan etika yang dari dulu didengungkan oleh Presiden SBY.

Kalau sekarang logikanya dibalik, bagaimana jika peserta konvensi itu ditawari atau menemukan jalan untuk bergabung dengan Capres lain? Dengan atau tanpa diusulkan oleh partainya? Dia sebagai perseorangan, sebagai pribadi? Dia sebagai professional yang dinilai memiliki prospek ke depan untuk membangun negeri yang lebih baik? Juga memiliki resourches untuk memenangkan jagoannya?

Apakah tokoh peserta konvensi yang menjalin komunikasi politik dengan pihak lain itu dianggap “tidak etis” atau “tidak sopan”? Lagi-lagi menggunakan istilah “keadaan darurat” semua bisa terjadi. Ingat, koalisi PDI-P Megawati dengan Gerindra Prabowo Subianto saat Pilpres 2009 lalu? Keputusan mereka berkoalisi dilakukan pada detik-detik terakhir mendekati batas waktu pendaftaran.

Sopan santun pun bisa dan boleh diabaikan, demi kepentingan yang lebih besar, lebih mendesak, dan nasional. Tak perlu bimbang, atau menunggu yang sedang bimbang. Tak perlu ragu, go ahead aja. Merdeka itu bebas dari gembok! Bebas melepaskan diri dari sandera apapun bentuknya!

(*/Penulis adalah Pemred Indopos, Ketua Forum Pemred JPNN)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/