25.6 C
Medan
Thursday, May 23, 2024

Parpol Ajarkan Transaksi Politik dan Mengelabui

Rabu, 9 April 2014 adalah jadwal pemilihan umum (Pemilu) atau bila dihitung mulai saat ini, sekitar 10 bulan jelang digelarnya Pemilu. Tapi, sosialisasi sejumlah calon legislatif sudah menyebar mulai dari jalan protokol, becak hingga kuburan.Para kader yang muncul dan memajangkan foto-fotonya pakai make up dan editing foto, terpampang juga senyum khasnya tersebar di jalanan. Uniknya, pengurus partai pun sering terbelah karena tak dijadikan calon legislatif, sedangkan pendatang baru yang tidak ikut membesarkan partai tiba-tiba dijadikan caleg. Hal lainnya banyak pula yang bertanya muda-muda kenapa bisa menjadi calon legislatif.

Bagaimana pengamat politik melihat kondisi tersebut? Berikut petikan wawancara wartawan koran ini, Chairil Huda bersama pengamat politik, Dadang Darmawan Pasaribu saat ditemui kemarin.

Pasca ditetapkannya daftar calon sementara (DCS) oleh KPU, banyak wajah baru di dunia politik muncul. Apakah anda memperhatikannya?

Ia, saya perhatikan. Banyak partai yang hari ini lebih mempercayakan kekuatan eksternal partai, misalnya kalangan artis dan tokoh baru yang tidak berkarier di partai politik tapi namanya cukup dikenal. Sehingga ditarik ke partai politik dengan catatan bisa mendongkrak suara partai.

Memasukkan wajah baru dari kalangan artis dan tokoh-tokoh terkenal, sebenarnya ini bagian dari strategi politik partai, dan pastinya bertujuan untuk merangkul massa yang instan. Tanpa ada pendidikan politik, dan upaya yang dilakukan cukup sederhana.

Apakah ini bagian dari kegagalan partai politik?

Ya, ini bentuk kegagalan partai dalam melakukan pendidikan politik di internal partai politik. Makanya diambilah tokoh-tokoh terkenal dari luar partai.

Kalau begitu, apakah partai politik tidak takut ditinggalkan oleh kadernya?

Partai politik tak memikirkan efek, yang dipikirkan hanya menang dalam pemilu. Konteks pemenangan pemilu, dan terpilihnya kader terkadang tak sinkron. Putusan yang diambil akan banyak kepenting-kepentingan pada akhirnya tak sesuai kehendak masyarakat. Makanya partai itu bertujuan untuk menang saja, tanpa harus memikirkan pendidikan politik.

Apabila seperti itu, Partai Politik ini kejam?

Kejam dan tidak kejamnya inikan di pasar. Partai politik inikan transaksional, mirip transaksi ekonomi, sepakat. Jadi tidak ada yang kejam, artinya masyarakat yang pragmatis akan bertemu dengan caleg pragmatis.

Karena partai politik transaksional, maka tergantung kepada berapa kesepakatan nilai antara kader partai politik dengan pemilik suara. Jadi jangan heran kalau sekarang ini ada istilah ada uang dipilih, tak ada uang melayang. Kalau mau duduk memang harus ada transaksional.

Kondisi inikan tak sesuai dengan demokrasi sebenarnya. Kalau dilihat lebih kepada berpeluang terjadinya money politik?

Persis, inilah yang sering terjadi sekarang. Nilai-nilai budi pekerti, moralitas tak ada dalam pasar politik. Bahkan pasar politik tak menyiapkan.

Lantas apa yang diajarkan partai politik?

Partai politik mengajarkan transaksi politik dan pengelabuan, ingat dipasar ekonomi penjual dagangannya memakai iklan (branding, RED) jadi harus dikemas marketable, semua entitas politik dijual melalui bungkus-bungkus eye-catching.

Apakah wajah cantik, jelita dan tampan menjadi bungkusnya?

Bisa jadi, makanya para kader-kader yang merasa berjasa marah akhirnya muncullah dualisme kepengurusan partai. Pada akhirnya, partai mulai ditinggalkan kader. Sekarang ini hal yang biasa partai politik itu ditinggalkan kader, hanya gara-gara tak menjadi caleg.

Apakah Anda juga memperhatikan caleg pakai nomor urut sebelum ditetapkan menjadi daftar calon tetap (DCT) oleh KPU?

Memang DCS belum bisa memastikan lolos atau tidak. Tapi, ada sebagian caleg yang saat ini sudah memanfaatkan bagian dari kampanye dan memakai nomor urut. Selayaknya belum tepat, karena KPU masih mengumumkan DCS, bisa saja orang yang sudah mengkampanyekan nama-namanya bakal dicoret atau tidak masuk DCT.

Kalau kondisi nomor urut sudah dikampanyekan, terlihat jelas bahwa kesabaran politik dari caleg sudah tidak ada. Inilah sebuah pelanggaran etika.
Kini, Sumut belum memiliki Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Padahal tahapan Pemilu 2014 sudah berjalan. Bagaimana Pemilu tanpa ada pengawasan?
Tentu sangat pincang, kehadiran Bawaslu sangat penting. Kilas balik pada tahun 1999 pengawas pemilu tak hanya panitia pengawas pemilu (Panwaslu), tapi pengawas pemilu dari berbagai lembaga, mulai dari KIP, Forum Rekor dan lainnya.

Paling menarik pada tahun itu tempat pemungutan suara (TPS) banyak ditongkrongi pengawas, sedangkan tahun 2004 ada Panwaslu di setiap TPS. Selanjutnya pada tahun 2009 hanya satu di setiap TPS. Bila kondisi sekarang di Sumut tidak ada Bawaslu, besar kemungkinan akan banyak manipulasi atau pelanggaran yang terjadi. Tentunya, bila dibiarkan ada banyak problem yang akan muncul. Sekarang ini, publik tidak begitu mengetahui apakan kondisi ini desain dari Bawaslu pusat. Atau karena ada kepentingan politik lain, atau mungkin tidak ada manejerial atau karena kekurangan anggaran. Kalau terus terjadi, sama saja pemilu 2014 ini bisa dikatakan pemilu cacat.

Apa peran parpol?

Harusnya partai politik bertanya ke Bawaslu pusat, bukan mengabaikan persoalan ini.

Untuk ke depannya partai politik harus seperti apa?

Parpol itu jantung, atau centrum dari kehidupan politik di Indonesia. Di tengah posisinya penting, ke depan mestinya partai itu bisa memproduksi kader-kader yang terbaik untuk menjadi pemimpin di negara ini. Mulai presiden, DPR, DPRD, gubernur, bupati/wali kota.

Selanjutnya, partai-partai yang mengandalkan pragmatisme, parpol harus melakukan perubahan sistem nilai, dan memperbaiki rekrutmen kepengurusan serta calon pemimpin di tingkat nasional dan daerah.

Partai politik juga harus terbuka, seperti menjadi partai yang selalu mempublikasikan persoalan keuangan dan kebijakan partai politik. Kemudian, partai-partai juga harus kredibel dan memiliki integritas moral.(*)

Rabu, 9 April 2014 adalah jadwal pemilihan umum (Pemilu) atau bila dihitung mulai saat ini, sekitar 10 bulan jelang digelarnya Pemilu. Tapi, sosialisasi sejumlah calon legislatif sudah menyebar mulai dari jalan protokol, becak hingga kuburan.Para kader yang muncul dan memajangkan foto-fotonya pakai make up dan editing foto, terpampang juga senyum khasnya tersebar di jalanan. Uniknya, pengurus partai pun sering terbelah karena tak dijadikan calon legislatif, sedangkan pendatang baru yang tidak ikut membesarkan partai tiba-tiba dijadikan caleg. Hal lainnya banyak pula yang bertanya muda-muda kenapa bisa menjadi calon legislatif.

Bagaimana pengamat politik melihat kondisi tersebut? Berikut petikan wawancara wartawan koran ini, Chairil Huda bersama pengamat politik, Dadang Darmawan Pasaribu saat ditemui kemarin.

Pasca ditetapkannya daftar calon sementara (DCS) oleh KPU, banyak wajah baru di dunia politik muncul. Apakah anda memperhatikannya?

Ia, saya perhatikan. Banyak partai yang hari ini lebih mempercayakan kekuatan eksternal partai, misalnya kalangan artis dan tokoh baru yang tidak berkarier di partai politik tapi namanya cukup dikenal. Sehingga ditarik ke partai politik dengan catatan bisa mendongkrak suara partai.

Memasukkan wajah baru dari kalangan artis dan tokoh-tokoh terkenal, sebenarnya ini bagian dari strategi politik partai, dan pastinya bertujuan untuk merangkul massa yang instan. Tanpa ada pendidikan politik, dan upaya yang dilakukan cukup sederhana.

Apakah ini bagian dari kegagalan partai politik?

Ya, ini bentuk kegagalan partai dalam melakukan pendidikan politik di internal partai politik. Makanya diambilah tokoh-tokoh terkenal dari luar partai.

Kalau begitu, apakah partai politik tidak takut ditinggalkan oleh kadernya?

Partai politik tak memikirkan efek, yang dipikirkan hanya menang dalam pemilu. Konteks pemenangan pemilu, dan terpilihnya kader terkadang tak sinkron. Putusan yang diambil akan banyak kepenting-kepentingan pada akhirnya tak sesuai kehendak masyarakat. Makanya partai itu bertujuan untuk menang saja, tanpa harus memikirkan pendidikan politik.

Apabila seperti itu, Partai Politik ini kejam?

Kejam dan tidak kejamnya inikan di pasar. Partai politik inikan transaksional, mirip transaksi ekonomi, sepakat. Jadi tidak ada yang kejam, artinya masyarakat yang pragmatis akan bertemu dengan caleg pragmatis.

Karena partai politik transaksional, maka tergantung kepada berapa kesepakatan nilai antara kader partai politik dengan pemilik suara. Jadi jangan heran kalau sekarang ini ada istilah ada uang dipilih, tak ada uang melayang. Kalau mau duduk memang harus ada transaksional.

Kondisi inikan tak sesuai dengan demokrasi sebenarnya. Kalau dilihat lebih kepada berpeluang terjadinya money politik?

Persis, inilah yang sering terjadi sekarang. Nilai-nilai budi pekerti, moralitas tak ada dalam pasar politik. Bahkan pasar politik tak menyiapkan.

Lantas apa yang diajarkan partai politik?

Partai politik mengajarkan transaksi politik dan pengelabuan, ingat dipasar ekonomi penjual dagangannya memakai iklan (branding, RED) jadi harus dikemas marketable, semua entitas politik dijual melalui bungkus-bungkus eye-catching.

Apakah wajah cantik, jelita dan tampan menjadi bungkusnya?

Bisa jadi, makanya para kader-kader yang merasa berjasa marah akhirnya muncullah dualisme kepengurusan partai. Pada akhirnya, partai mulai ditinggalkan kader. Sekarang ini hal yang biasa partai politik itu ditinggalkan kader, hanya gara-gara tak menjadi caleg.

Apakah Anda juga memperhatikan caleg pakai nomor urut sebelum ditetapkan menjadi daftar calon tetap (DCT) oleh KPU?

Memang DCS belum bisa memastikan lolos atau tidak. Tapi, ada sebagian caleg yang saat ini sudah memanfaatkan bagian dari kampanye dan memakai nomor urut. Selayaknya belum tepat, karena KPU masih mengumumkan DCS, bisa saja orang yang sudah mengkampanyekan nama-namanya bakal dicoret atau tidak masuk DCT.

Kalau kondisi nomor urut sudah dikampanyekan, terlihat jelas bahwa kesabaran politik dari caleg sudah tidak ada. Inilah sebuah pelanggaran etika.
Kini, Sumut belum memiliki Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Padahal tahapan Pemilu 2014 sudah berjalan. Bagaimana Pemilu tanpa ada pengawasan?
Tentu sangat pincang, kehadiran Bawaslu sangat penting. Kilas balik pada tahun 1999 pengawas pemilu tak hanya panitia pengawas pemilu (Panwaslu), tapi pengawas pemilu dari berbagai lembaga, mulai dari KIP, Forum Rekor dan lainnya.

Paling menarik pada tahun itu tempat pemungutan suara (TPS) banyak ditongkrongi pengawas, sedangkan tahun 2004 ada Panwaslu di setiap TPS. Selanjutnya pada tahun 2009 hanya satu di setiap TPS. Bila kondisi sekarang di Sumut tidak ada Bawaslu, besar kemungkinan akan banyak manipulasi atau pelanggaran yang terjadi. Tentunya, bila dibiarkan ada banyak problem yang akan muncul. Sekarang ini, publik tidak begitu mengetahui apakan kondisi ini desain dari Bawaslu pusat. Atau karena ada kepentingan politik lain, atau mungkin tidak ada manejerial atau karena kekurangan anggaran. Kalau terus terjadi, sama saja pemilu 2014 ini bisa dikatakan pemilu cacat.

Apa peran parpol?

Harusnya partai politik bertanya ke Bawaslu pusat, bukan mengabaikan persoalan ini.

Untuk ke depannya partai politik harus seperti apa?

Parpol itu jantung, atau centrum dari kehidupan politik di Indonesia. Di tengah posisinya penting, ke depan mestinya partai itu bisa memproduksi kader-kader yang terbaik untuk menjadi pemimpin di negara ini. Mulai presiden, DPR, DPRD, gubernur, bupati/wali kota.

Selanjutnya, partai-partai yang mengandalkan pragmatisme, parpol harus melakukan perubahan sistem nilai, dan memperbaiki rekrutmen kepengurusan serta calon pemimpin di tingkat nasional dan daerah.

Partai politik juga harus terbuka, seperti menjadi partai yang selalu mempublikasikan persoalan keuangan dan kebijakan partai politik. Kemudian, partai-partai juga harus kredibel dan memiliki integritas moral.(*)

Artikel Terkait

Bubarkan Pengurus Lama

Ada Sindikat di Hutan Mangrove

Selesaikan Konflik SMPN 14

Terpopuler

Artikel Terbaru

/