32.8 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Sadar Kapan Harus Berubah (Seri 1)

Bandara Internasional Juanda Surabaya di Sidoarjo (duh panjangnya), tidak lama lalu.

Ketika hendak boarding pesawat, ada seorang cewek menyapa dari belakang. “Mas Azruuuul…”
Lalu dia bilang: “Masih ingat saya Mas? Dulu pernah juara kompetisi jurnalis DetEksi”.

Saya lalu bertanya balik: “Kuliah di mana sekarang?”.

Jawabannya: “Lho, saya sudah jadi dokter sekarang maaas…”
Glodaaaakkkk!!!!
Bunyi alarm di kepala berbunyi nyaring. Sama rasanya seperti waktu kali pertama dipanggil “Oom”, walau tidak semenyakitkan dipanggil “Oom”.

Mungkin, detik itulah muncul keputusan DetEksi harus ditutup. Masalahnya, kalau DetEksi ditutup, lalu gantinya apa?
Walau generasinya sudah banyak berubah, pembaca/pengikutnya sekarang sudah tidak tahu/kenal sejarahnya zaman dahulu kala (tahun 2000), DetEksi tetap punya pembaca/pengikut yang cukup fanatis.

Buktinya, pada 26 Februari 2016 lalu, begitu banyak yang mengontak kantor mengeluh kenapa halaman DetEksi sudah tidak ada. Malah ada penelepon (anak SMA) yang marah-marah dan ngambek, memaksa-maksa DetEksi tidak boleh diganti oleh Zetizen.

“Kembalikan DetEksi-ku!” teriaknya ke kru kami hari itu.

Apalagi di Jawa Pos tanggal 26 Februari lalu memang cukup “kejam”. Tidak ada pengumuman apa-apa. Tiba-tiba ganti jadi Zetizen. Bukan hanya itu. Mulai Senin, 7 Maret kemarin, puluhan koran lain di Jawa Pos Group–dari Aceh sampai Papua– juga punya halaman Zetizen.

Kenapa begitu? Ya kenapa tidak!
Penjelasannya baca besok ya…Wkwkwkwkwk… (bersambung)

Bandara Internasional Juanda Surabaya di Sidoarjo (duh panjangnya), tidak lama lalu.

Ketika hendak boarding pesawat, ada seorang cewek menyapa dari belakang. “Mas Azruuuul…”
Lalu dia bilang: “Masih ingat saya Mas? Dulu pernah juara kompetisi jurnalis DetEksi”.

Saya lalu bertanya balik: “Kuliah di mana sekarang?”.

Jawabannya: “Lho, saya sudah jadi dokter sekarang maaas…”
Glodaaaakkkk!!!!
Bunyi alarm di kepala berbunyi nyaring. Sama rasanya seperti waktu kali pertama dipanggil “Oom”, walau tidak semenyakitkan dipanggil “Oom”.

Mungkin, detik itulah muncul keputusan DetEksi harus ditutup. Masalahnya, kalau DetEksi ditutup, lalu gantinya apa?
Walau generasinya sudah banyak berubah, pembaca/pengikutnya sekarang sudah tidak tahu/kenal sejarahnya zaman dahulu kala (tahun 2000), DetEksi tetap punya pembaca/pengikut yang cukup fanatis.

Buktinya, pada 26 Februari 2016 lalu, begitu banyak yang mengontak kantor mengeluh kenapa halaman DetEksi sudah tidak ada. Malah ada penelepon (anak SMA) yang marah-marah dan ngambek, memaksa-maksa DetEksi tidak boleh diganti oleh Zetizen.

“Kembalikan DetEksi-ku!” teriaknya ke kru kami hari itu.

Apalagi di Jawa Pos tanggal 26 Februari lalu memang cukup “kejam”. Tidak ada pengumuman apa-apa. Tiba-tiba ganti jadi Zetizen. Bukan hanya itu. Mulai Senin, 7 Maret kemarin, puluhan koran lain di Jawa Pos Group–dari Aceh sampai Papua– juga punya halaman Zetizen.

Kenapa begitu? Ya kenapa tidak!
Penjelasannya baca besok ya…Wkwkwkwkwk… (bersambung)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/