26.7 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Dari 1 Karung Bijih Emas, Bisa Peroleh 1-2 Kg Emas

Mendengar dan menyaksikan para penambang liar menjadi orang kaya baru —punya rumah bagus dan mobil baru— ditambah kabar bahwa 1 karung bijih emas bisa menghasilkan 1 kg emas, masuk akal jika banyak warga lokal yang tergiur ikut menambang. Apalagi Muspida setempat tak serius melakukan penertiban.

Dame Ambarita, Panyabungan

GALUNDUNG: Seorang pekerja memproses bijih emas menjadi emas dalam galundung (kilang emas tradisional), di Hutabargot, Panyabungan, Madina. Pemrosesan menggunakan air raksa. //Dame Ambarita/sumut pos
GALUNDUNG: Seorang pekerja memproses bijih emas menjadi emas dalam galundung (kilang emas tradisional), di Hutabargot, Panyabungan, Madina. Pemrosesan menggunakan air raksa. //Dame Ambarita/sumut pos

“Terus terang saja, saya tergiur ingin ikut melakukan penambangan emas, meski tak ada izin. Cemmanalah, melihat tetangga jadi orang kaya baru, siapa yang tak pengen?” kata Idham Kholil Siregar (45), warga Desa Tambisky Lama, Kecamatan Naga Juang, Madina, kepada Sumut Pos. Desa Tambisky Lama berada di areal kaki bukit tempat tambang emas liar merajalela.

Meski tergiur, Idham tidak ikut penambangan liar, karena sudah terlibat dalam Koperasi Desa yang didukung salahsatu perusahaan yang memiliki izin resmi penambangan emas di Madina namun belum beroperasi.

Informasi dihimpun Sumut Pos, pemilik lubang biasanya membiayai seluruh operasi penggalian, mulai dari biaya pengkavlingan lahan, logistik, upah portirn
(tenaga langsir), dan lain-lainnya. Biaya yang dikeluarkan mencapai Rp60 juta sampai Rp100 juta per lubang.

Jika ada bijih emas yang digali, hasilnya dibagi 60:40 antara pemilik lubang dan penambang emas. Umumnya, dari satu lubang bisa dapat 1-2 karung bijih emas.

Untuk melangsirnya dari perbukitan ke mesin galundung (alat pemisah batu/tanah dengan emas)) di pemukiman penduduk, portir (tenaga pengangkut) diupah Rp150 ribu sampai Rp200 ribu per karung goni (30-40 kg). Ditambah Rp50 ribu ke kilang-kilang galundung emas.

Dengan kerja setengah hari mengangkut karung goni berisi batuan bijih emas, warga dapat upah Rp 200.000.

“Tetapi ada juga penambang yang memiliki mesin galundung sendiri di lokasi tambang. Mereka langsung mengolah bijih emas di areal perbukitan,” jelas Pak Nur, pemerhati penambangan emas liar di Madina.

Jumlah penambang liar mayoritas berada di Hutabargot dibanding Nagajuang, karena di sana kandungan mineralisasinya langsung ke akar emas. Jika beruntung, penambang memang bisa meraup 1-2 kg emas dari 1-2 karung bijih emas. Sebaliknya, bisa hanya dapat 1-2 gram per karung berisi sekitar 50 kg bijih emas.

Sedangkan di areal Bukit Sihayo dan Sambung, Kecamatan Naga Juang, kadar emasnya tersebar. “Paling dapat 2-3 gram emas per ton batuan,” kata Pak Nur.

Meski emas dari lubang tambang tidak menentu, minat penambang liar untuk berburu emas tidak surut. Apalagi aparat Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) setempat tidak serius melakukan penertiban.

“Yang mereka (aparat kepolisian, Red) tangkap paling tenaga pelangsir. Sementara pemilik lubang tak pernah diganggu,” cetus F Rangkuti, warga Panyabungan yang sejak awal mengamati kegiatan  penambangan liar di Hutabargot.

Informasi dihimpun Sumut Pos, sejumlah oknum Muspida Madina, mulai dari oknum pejabat di institusi kepolisian, DPRD, hingga oknum di Pemkab, terlibat dalam penambangan emas liar di Hutabargot. Ada yang memiliki lubang, ada yang memiliki mesin galundung, atau memiliki keduanya.

“Artinya, oknum pejabat yang seharusnya melakukan penertiban, justru ikut terlibat. Mana mungkin mengharapkan ada penertiban?” kata F Rangkuti.

Di antara oknum anggota DPRD Madina yang ditengarai ikut memiliki lubang tambang liar, galundung, atau keduanya, muncul inisial AMN, IN, ZB, AHN,  SAN, HB, MJSN, SES, EEL, dan FEN.

Selain anggota dewan, sejumlah perwira pun ditengarai memiliki lubang di Hutabargot, atau hanya sekedar memperoleh setoran. (bersambung)

Mendengar dan menyaksikan para penambang liar menjadi orang kaya baru —punya rumah bagus dan mobil baru— ditambah kabar bahwa 1 karung bijih emas bisa menghasilkan 1 kg emas, masuk akal jika banyak warga lokal yang tergiur ikut menambang. Apalagi Muspida setempat tak serius melakukan penertiban.

Dame Ambarita, Panyabungan

GALUNDUNG: Seorang pekerja memproses bijih emas menjadi emas dalam galundung (kilang emas tradisional), di Hutabargot, Panyabungan, Madina. Pemrosesan menggunakan air raksa. //Dame Ambarita/sumut pos
GALUNDUNG: Seorang pekerja memproses bijih emas menjadi emas dalam galundung (kilang emas tradisional), di Hutabargot, Panyabungan, Madina. Pemrosesan menggunakan air raksa. //Dame Ambarita/sumut pos

“Terus terang saja, saya tergiur ingin ikut melakukan penambangan emas, meski tak ada izin. Cemmanalah, melihat tetangga jadi orang kaya baru, siapa yang tak pengen?” kata Idham Kholil Siregar (45), warga Desa Tambisky Lama, Kecamatan Naga Juang, Madina, kepada Sumut Pos. Desa Tambisky Lama berada di areal kaki bukit tempat tambang emas liar merajalela.

Meski tergiur, Idham tidak ikut penambangan liar, karena sudah terlibat dalam Koperasi Desa yang didukung salahsatu perusahaan yang memiliki izin resmi penambangan emas di Madina namun belum beroperasi.

Informasi dihimpun Sumut Pos, pemilik lubang biasanya membiayai seluruh operasi penggalian, mulai dari biaya pengkavlingan lahan, logistik, upah portirn
(tenaga langsir), dan lain-lainnya. Biaya yang dikeluarkan mencapai Rp60 juta sampai Rp100 juta per lubang.

Jika ada bijih emas yang digali, hasilnya dibagi 60:40 antara pemilik lubang dan penambang emas. Umumnya, dari satu lubang bisa dapat 1-2 karung bijih emas.

Untuk melangsirnya dari perbukitan ke mesin galundung (alat pemisah batu/tanah dengan emas)) di pemukiman penduduk, portir (tenaga pengangkut) diupah Rp150 ribu sampai Rp200 ribu per karung goni (30-40 kg). Ditambah Rp50 ribu ke kilang-kilang galundung emas.

Dengan kerja setengah hari mengangkut karung goni berisi batuan bijih emas, warga dapat upah Rp 200.000.

“Tetapi ada juga penambang yang memiliki mesin galundung sendiri di lokasi tambang. Mereka langsung mengolah bijih emas di areal perbukitan,” jelas Pak Nur, pemerhati penambangan emas liar di Madina.

Jumlah penambang liar mayoritas berada di Hutabargot dibanding Nagajuang, karena di sana kandungan mineralisasinya langsung ke akar emas. Jika beruntung, penambang memang bisa meraup 1-2 kg emas dari 1-2 karung bijih emas. Sebaliknya, bisa hanya dapat 1-2 gram per karung berisi sekitar 50 kg bijih emas.

Sedangkan di areal Bukit Sihayo dan Sambung, Kecamatan Naga Juang, kadar emasnya tersebar. “Paling dapat 2-3 gram emas per ton batuan,” kata Pak Nur.

Meski emas dari lubang tambang tidak menentu, minat penambang liar untuk berburu emas tidak surut. Apalagi aparat Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) setempat tidak serius melakukan penertiban.

“Yang mereka (aparat kepolisian, Red) tangkap paling tenaga pelangsir. Sementara pemilik lubang tak pernah diganggu,” cetus F Rangkuti, warga Panyabungan yang sejak awal mengamati kegiatan  penambangan liar di Hutabargot.

Informasi dihimpun Sumut Pos, sejumlah oknum Muspida Madina, mulai dari oknum pejabat di institusi kepolisian, DPRD, hingga oknum di Pemkab, terlibat dalam penambangan emas liar di Hutabargot. Ada yang memiliki lubang, ada yang memiliki mesin galundung, atau memiliki keduanya.

“Artinya, oknum pejabat yang seharusnya melakukan penertiban, justru ikut terlibat. Mana mungkin mengharapkan ada penertiban?” kata F Rangkuti.

Di antara oknum anggota DPRD Madina yang ditengarai ikut memiliki lubang tambang liar, galundung, atau keduanya, muncul inisial AMN, IN, ZB, AHN,  SAN, HB, MJSN, SES, EEL, dan FEN.

Selain anggota dewan, sejumlah perwira pun ditengarai memiliki lubang di Hutabargot, atau hanya sekedar memperoleh setoran. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/