28.9 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Aksi Mario Ingatkan Aksi Dua Remaja Medan 17 Tahun Lalu

Kasus-kasus di atas adalah sebagian kecil dari insiden penumpang gelap di roda pesawat. Menurut Dr Stephen Veronneau dari FAA, ada 96 orang yang menumpang 85 penerbangan untuk keluar negaranya sejak 1947. Hanya 23 orang yang selamat, atau sekitar 20,3 persen, 73 lainnya menemui ajal .

Amerika Serikat atau negara-negara Eropa menerapkan pengamanan lebih ketat di bandara mereka pasca serangan teror 9/11. Namun di sejumlah negara, bandara-bandara tidak memiliki pengamanan memadai, memungkinkan seseorang menyelinap masuk, dan memanjat roda pesawat.

Tentu, cara itu penuh risiko. Beberapa di antara mereka tewas karena tergencet roda pesawat, atau jatuh saat kompartemen roda terbuka. Sisanya tewas karena hypothermia atau radang dingin, hipoksia, dan acidosis -terbentuknya asam di cairan tubuh yang bisa menyebabkan koma atau kematian.

Kondisi yang ekstrem terjadi karena di kompartemen roda pendaratan yang sempit tempat mereka sembunyi tidak ada pemanas, pengatur tekanan udara atau oksigen.

Menurut para ahli, di ketinggian 18.000 kaki, hipoksia akan menyebabkan kelemahan, kejang, sakit kepala ringan dan gangguan penglihatan. Di ketinggian 22.000 kaki, penumpang gelap akan berjuang untuk tetap sadarkan diri, saat itu tingkat oksigen di darah mereka turun drastis. Di atas ketinggian 33.000 kaki, paru-paru membutuhkan tekanan buatan untuk berfungsi normal, jika tidak akan fatal.

Di ketinggian ekstrem, suhu bisa mencapai di bawah titik beku, sekitar -63 C. Kebanyakan yang bertahan dari situasi ini akan tidak sadarkan diri. Saat pintu kompartemen roda terbuka, mereka yang tertidur akan jatuh ke tanah dari ketinggian ribuan kaki di udara. Remuk menghantam tanah.

“Mereka mati akibat jatuh atau membeku. Ada ketidaktahuan yang fatal. Jika mereka tahu situasi apa yang akan mereka hadapi, mereka tidak akan melakukannya,” kata ahli penerbangan, David Learmount, dari majalah Flight International. (bbs/val)

Kasus-kasus di atas adalah sebagian kecil dari insiden penumpang gelap di roda pesawat. Menurut Dr Stephen Veronneau dari FAA, ada 96 orang yang menumpang 85 penerbangan untuk keluar negaranya sejak 1947. Hanya 23 orang yang selamat, atau sekitar 20,3 persen, 73 lainnya menemui ajal .

Amerika Serikat atau negara-negara Eropa menerapkan pengamanan lebih ketat di bandara mereka pasca serangan teror 9/11. Namun di sejumlah negara, bandara-bandara tidak memiliki pengamanan memadai, memungkinkan seseorang menyelinap masuk, dan memanjat roda pesawat.

Tentu, cara itu penuh risiko. Beberapa di antara mereka tewas karena tergencet roda pesawat, atau jatuh saat kompartemen roda terbuka. Sisanya tewas karena hypothermia atau radang dingin, hipoksia, dan acidosis -terbentuknya asam di cairan tubuh yang bisa menyebabkan koma atau kematian.

Kondisi yang ekstrem terjadi karena di kompartemen roda pendaratan yang sempit tempat mereka sembunyi tidak ada pemanas, pengatur tekanan udara atau oksigen.

Menurut para ahli, di ketinggian 18.000 kaki, hipoksia akan menyebabkan kelemahan, kejang, sakit kepala ringan dan gangguan penglihatan. Di ketinggian 22.000 kaki, penumpang gelap akan berjuang untuk tetap sadarkan diri, saat itu tingkat oksigen di darah mereka turun drastis. Di atas ketinggian 33.000 kaki, paru-paru membutuhkan tekanan buatan untuk berfungsi normal, jika tidak akan fatal.

Di ketinggian ekstrem, suhu bisa mencapai di bawah titik beku, sekitar -63 C. Kebanyakan yang bertahan dari situasi ini akan tidak sadarkan diri. Saat pintu kompartemen roda terbuka, mereka yang tertidur akan jatuh ke tanah dari ketinggian ribuan kaki di udara. Remuk menghantam tanah.

“Mereka mati akibat jatuh atau membeku. Ada ketidaktahuan yang fatal. Jika mereka tahu situasi apa yang akan mereka hadapi, mereka tidak akan melakukannya,” kata ahli penerbangan, David Learmount, dari majalah Flight International. (bbs/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/