27.8 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

Saksi Ahli Kejati Untungkan Dahlan

Prija mengungkapkan, dari sidang praperadilan kemarin, dirinya baru mengetahui bahwa unsur merugikan negara belum ditemukan, tapi tersangka sudah ditetapkan. Dahlan ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Oktober 2016, tapi audit kerugian negara baru keluar pada 17 November 2016.

Menurut dia, dalam delik korupsi, kerugian negara merupakan unsur primer. ’’Tidak bisa kalau audit belakangan, penetapan tersangka lebih dulu. Ini benar-benar bertentangan dengan asas kepastian hukum,’’ tegasnya.

Demikian pula dengan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain. Penyidik harus mencari bukti bahwa ada upaya memperkaya diri. Bukti riilnya adalah adanya data bahwa kekayaan memang bertambah. Begitu pula dengan unsur penyalahgunaan kewenangan. Dia menyatakan, penyidik harus menemukan bentuk penyalahgunaan itu dulu, apa buktinya, baru menentukan tersangkanya.

Karena itulah, dia menganggap langkah Dahlan yang mengajukan praperadilan sangat tepat. Hanya, sebagai akademisi, Prija menilai Kejati Jatim tidak fair. Sebab, ketika sidang praperadilan sedang berlangsung, kejati langsung melimpahkan perkara pidana pokok ke pengadilan. Padahal, ada hak tersangka yang seharusnya dimasukkan dalam berkas.

Dia berpendapat, jika permohonan praperadilan itu diterima, substansi perkara pidana tersebut sudah cacat sehingga seharusnya tidak bisa disidangkan. ’’Kalau dipaksakan, itu kesewenang-wenangan aparat penegak hukum,’’ ucapnya.

Tim kuasa hukum Dahlan menanyakan penyebab gugurnya praperadilan. Akademisi kelahiran Madiun itu menjelaskan, sesuai dengan putusan MK, praperadilan baru bisa dikatakan gugur ketika perkara pokoknya sudah masuk dalam pemeriksaan sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan.

Jika hakim mengabulkan perkara praperadilan, berkas perkara korupsi yang sudah dilimpahkan ke pengadilan batal demi hukum. Alasannya, semua bukti dan proses penyidikan yang diajukan jaksa dalam sidang sudah dinyatakan tidak sah sehingga tidak bisa digunakan lagi.

Prija menegaskan, hakim tidak perlu mengembalikan berkas tersebut kepada jaksa penuntut karena sudah gugur dengan sendirinya. Tindak lanjutnya adalah pengambilan kebijakan hakim. Yaitu, hakim mengeluarkan penetapan yang membatalkan penetapan hari sidang dan penunjukan majelis hakim.

Di sisi lain, Solehuddin, ahli pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya, menegaskan, putusan MK yang mengatur gugurnya praperadilan sudah mengikat dan final. ’’Tafsir putusan itu sudah mengikat sehingga tidak boleh ditafsirkan lagi. Normanya sudah jelas,’’ katanya.

Selain itu, menurut dia, pelanggaran KUHAP berimplikasi pada tidak sahnya penyidikan. Akibatnya, perkaranya tidak bisa disidangkan dan status tersangkanya gugur. (atm/c5/nw/jpg)

Prija mengungkapkan, dari sidang praperadilan kemarin, dirinya baru mengetahui bahwa unsur merugikan negara belum ditemukan, tapi tersangka sudah ditetapkan. Dahlan ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Oktober 2016, tapi audit kerugian negara baru keluar pada 17 November 2016.

Menurut dia, dalam delik korupsi, kerugian negara merupakan unsur primer. ’’Tidak bisa kalau audit belakangan, penetapan tersangka lebih dulu. Ini benar-benar bertentangan dengan asas kepastian hukum,’’ tegasnya.

Demikian pula dengan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain. Penyidik harus mencari bukti bahwa ada upaya memperkaya diri. Bukti riilnya adalah adanya data bahwa kekayaan memang bertambah. Begitu pula dengan unsur penyalahgunaan kewenangan. Dia menyatakan, penyidik harus menemukan bentuk penyalahgunaan itu dulu, apa buktinya, baru menentukan tersangkanya.

Karena itulah, dia menganggap langkah Dahlan yang mengajukan praperadilan sangat tepat. Hanya, sebagai akademisi, Prija menilai Kejati Jatim tidak fair. Sebab, ketika sidang praperadilan sedang berlangsung, kejati langsung melimpahkan perkara pidana pokok ke pengadilan. Padahal, ada hak tersangka yang seharusnya dimasukkan dalam berkas.

Dia berpendapat, jika permohonan praperadilan itu diterima, substansi perkara pidana tersebut sudah cacat sehingga seharusnya tidak bisa disidangkan. ’’Kalau dipaksakan, itu kesewenang-wenangan aparat penegak hukum,’’ ucapnya.

Tim kuasa hukum Dahlan menanyakan penyebab gugurnya praperadilan. Akademisi kelahiran Madiun itu menjelaskan, sesuai dengan putusan MK, praperadilan baru bisa dikatakan gugur ketika perkara pokoknya sudah masuk dalam pemeriksaan sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan.

Jika hakim mengabulkan perkara praperadilan, berkas perkara korupsi yang sudah dilimpahkan ke pengadilan batal demi hukum. Alasannya, semua bukti dan proses penyidikan yang diajukan jaksa dalam sidang sudah dinyatakan tidak sah sehingga tidak bisa digunakan lagi.

Prija menegaskan, hakim tidak perlu mengembalikan berkas tersebut kepada jaksa penuntut karena sudah gugur dengan sendirinya. Tindak lanjutnya adalah pengambilan kebijakan hakim. Yaitu, hakim mengeluarkan penetapan yang membatalkan penetapan hari sidang dan penunjukan majelis hakim.

Di sisi lain, Solehuddin, ahli pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya, menegaskan, putusan MK yang mengatur gugurnya praperadilan sudah mengikat dan final. ’’Tafsir putusan itu sudah mengikat sehingga tidak boleh ditafsirkan lagi. Normanya sudah jelas,’’ katanya.

Selain itu, menurut dia, pelanggaran KUHAP berimplikasi pada tidak sahnya penyidikan. Akibatnya, perkaranya tidak bisa disidangkan dan status tersangkanya gugur. (atm/c5/nw/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/