JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ayah Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, Samuel Hutabarat menyesalkan adanya sitgma negatif pelaku pelecehan seksual kepada mendiang anaknya. Tuduhan ini dianggap telah mencemarkan nama baik keluarga.
“Ini menjadi pukulan berat, ada pepatah menyampaikan fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Kami atas nama Hutabarat di seluruh Jabodetabek merasa terpukul, merasa sakit hati, belum ada keputusan pengadilan, anak kami dikatakan mencabuli,” kata Samuel di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (3/8).
Sementara itu, Pheo Hutabarat sebagai Ketua Lawyers Hutabarat juga menyampaikam hal serupa. Keluhan soal tuduhan Brigadir J sebagai pelaku pencabulan telah disampaikan kepada Menko Polhukam Mahfud MD. “Bapak saya ini sedih, dari awal sudah terjadi tuduhan bahwa adik saya yang meninggal ini dianggap sudah melakukan tindak pencabulan. Tidak ada putusan pengadilan sampai saat ini yang mengatakan dia melakukan tindakan pencabulan,” ucapnya.
Pheo mengatakan, stigma pelaku pencabulan kepada Brigadir J telah memberikan tekanan besar kepada keluarga. “Itu karena apa? Karena ada pernyataan polisi dari awal baik Mabes atau Kapolres, padahal kasusnya belum diperiksa apa-apa sudah dikatakan, salah satunya Brigadir J mati karena Bharada E mempertahankan dirinya. Itu kan berarti tindakan pidana sudah dikatakan polisi sementara belum ada putusan,” pungkasnya.
Terkait kedatangan mereka ke Kantor Kemenko Polhukam, Pheo Hutabarat mengatakan, mereka ingin menyampaikan sejumlah kejanggalan dalam tewasnya Brigadir J kepada Menko Polhukam Mahfud MD. Pihak keluarga menduga adanya upaya menutup-nutupi kasus ini dari pihak Polri.
Pheo mengatakan, kejanggalan pertama yang disampaikan yakni pernyataan Kapolres Metro Jakarta Selatan nonaktif Kombes Pol Budhi Herdi Susianto yang menyebut hanya ada 1 luka tembak di tubuh Brigadir J. Sedangkan keluarga melihat banyak luka tembak lainnya.
“Di situ kita lihat, Pak Menteri juga lihat, dua perkataan bahwa di tubuh jenazah adik saya hanya ditemukan satu lobang di dada. Pak Menteri geleng-geleng kepala, saya nggak tahu artinya apa, tapi kalau kita mengatakan ini sudah ada tindakan menutup-nutupi,” sebut Pheo.
Kejanggalan selanjutnya yakni disebutkan jika Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo saat peristiwa penembakan pada 8 Juli 2022 tengah menjalani tes PCR di suatu tempat. Namun, baru-baru ini diungkap jika tss PCR dilakukan di rumah dinas baku tembak terjadi.
“Sementara dari CCTV yang dibuka Komnas HAM PCR praktiknya di rumah, dan yang bersangkutan itu di tengah jalan kembali ke TKP,” kata Pheo.
“Pertanyaannya, kok bisa-bisanya dikatakan di tanggal 11-12 ada tes PCR? Berarti itukan mau menciptakan alibi bahwa yang menembak hanyalah Bharada E,” imbuhnya.
Kejanggalan lainnya yaitu karena polisi langsung menyebut Brigadir J sebagai pelaku pelecehan seksual kepada Putri Chandrawathi, istri Ferdy Sambo. Padahal keluarga menilai belum ada bukti kuat untuk membenarkan tuduhan tersebut.
Bukan Kriminal Biasa
Menko Polhukam Mahfud MD menyebutkan, kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J di kediaman Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo bukan kasus kriminal biasa. “Saya katakan, maaf ini tidak sama dengan kriminal biasa, sehingga memang harus bersabar,” kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu.
Menurut dia, kasus tewasnya Brigadir J memiliki dua aspek psikologis sehingga penanganan tidak semudah kasus kriminal biasa. “Karena ada psiko hirarkis, ada juga psiko politis-nya, jadi kalau seperti itu secara teknis penyidikan itu sebenarnya katanya gampang. Apa namanya, bahkan para purnawirawan dulu kalau kayak gitu gampang pak, itu kan tempatnya jelas ini kita sudah tahu lah, tapi saya katakan, oke jangan berpendapat dulu, biar Polri memroses. Bahwa itu mah gampang tingkat Polsek aja bisa, tetapi ini ada tadi psiko hirarkis dan psiko politis dan macam-macam,” papar Mahfud.
Dia pun mengapresiasi langkah Polri, dimana kasus tersebut sudah mengalami kemajuan. Bahkan, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo merespon ketidakpuasan publik terhadap kasus tersebut. “Rakyat tidak puas lagi, ‘Pak, itu harus dinonaktifkan. Kalau dia masih aktif di situ, nanti penyelidikannya bisa ndak objektif, bisa terpengaruh’. Oke dinonaktifkan Sambo, pokoknya ada tiga lah (perwira dinonaktifkan). Kan sudah responsif Kapolri,” ujar Mahfud.
Kapolri juga telah memenuhi permintaan agar jenazah Brigadir J di autopsi ulang. Bahkan, autopsi ulang itu melibatkan pihak lain di luar kepolisian. Karenanya, Mahfud menilai kinerja Kapolri sudah baik dalam kasus kematian Brigadir J. “Apa kurang bagus? Kan sudah bagus tuh,” ucap Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini juga menegaskan, bahwa pihaknya telah memegang catatan dari berbagai pihak seperti intelijen, Kompolnas, purnawirawan polisi hingga Komnas HAM terkait dengan kasus Brigadir J. “Sehingga saya punya catatan lengkap, dari keluarga ada, dari intelijen ada, dari purnawirawan polisi ada, dari Kompolnas ada, dari Komnas HAM ada, dari LPSK ada, dari sumber-sumber perorangan di Densus di BNPT,” ucapnya.
Mahfud usai bertemu dengan ayah Brigadir J, Samuel Hutabarat menegaskan tidak ikut campur dalam proses penyelidikan yang sedang berlangsung oleh kepolisian. Dia mengatakan posisinya kini sebagai pembantu dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), hanya mengawal dari sisi pelaksanaan kebijakan negara semata. “Arahan Presiden itu cukup sudah, sudah benar, untuk dibuka. Untuk penyidikan, Menko Polhukam tak masuk ke pro-yustisia. Tapi mengawal pelaksanaannya dari sudut pelaksanaan kebijakan negara,” tutur Mahfud. (jpc/adz)