26.7 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Mahasiswa Sebut Sinkronisasi HTI & Hutan Alam Sesuatu yang Unik

Foto: Istimewa Humas TobaPulp Tagor Manik (Tengah), BEM Amir Hamzah Indra Sakti Nasution (kanan), M. Iqbal Presma UMSU (kiri), melakukan penanaman bersama bibit Haminjon di sektor HTI Aek Nauli TobaPulp.
Foto: Istimewa
Humas TobaPulp Tagor Manik (Tengah), BEM Amir Hamzah Indra Sakti Nasution (kanan), M. Iqbal Presma UMSU (kiri), melakukan penanaman bersama bibit Haminjon di sektor HTI Aek Nauli TobaPulp.

PARMAKSIAN, SUMUTPOS.CO – Menyusul kunjungan “bersejarah” beberapa serikat buruh dan serikat pekerja, serta kemudian beberapa gerakan mahasiswa sejak akhir Mei lalu, Senin (22/6) sembilan orang perwakilan BEM kota Medan dalam suatu aliansi meninjau lagi operasional HTI TPL di sektor Aeknauli dekat kota Parapat, serta proses produksi pulp di pabrik di Parmaksian, Tobasamosir.

Aliansi itu meliputi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) universitas-universitas Amir Hamzah (UnHam), Panca Budi (UnPab), Nommensen (UHN), Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Al-Azhar, Dharmawangsa, Univrsitas Islam Negeri (UIN), Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) dan Universitas Muslim Nusantara (UMN). Mereka diterima Direktur Leonard Hutabarat, manajer Humas Ir Tagor Manik dan beberapa staf.

Kunjungan dimulai dari HTI (hutan tanaman industri) TPL (PT Toba Pulp Lestari,Tbk) sektor Aek Nauli, dekat kota Parapat. Para aktivis berbagai disiplin ilmu (hukum, pertanian, teknik, sosial-politik, dan dakwah) dan sering “turun ke jalan” untuk menyuarakan perlindungan alam, itu, menaruh perhatian khusus terhadap cara-cara pengelolaan hutan tanaman secara lestari dan berkesinambungan (sustainable). Mereka menilainya sesuatu yang unik.

Pembangunan HTI oleh TPL dengan tanaman pokok jenis ekaliptus (Eucalyptus sp) guna dijadikan bahan baku pabrik dalam menghasilkan pulp (bubur kayu) pada kenyataannya dapat disinkronkan dengan konsep perlindungan dan pelestarian hutan alam. Ini, dimungkinkan karena secara umum perusahaan hanya merencanakan pembangunan HTI –yang tidak lain dari perkebunan kayu– seluas 40% dari total luas konsesi 188 ribu hektar yang tersebar di 12 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Pada hal dalam izin dimungkinkan hingga hingga 70%.

Kebijakan tersebut memberi porsi untuk konservasi –hutan alam yang dipertahankan untuk fungsi lindung– di konsesi menjadi jauh lebih luas dari yang dipersyaratkan. Artinya, sebagian hutan alam yang sebenarnya layak-HTI dibiarkan tetap menjadi hutan alam (tidak ditebang) dalam bentuk greenbelt (sekat antarkompartemen hutan tanaman), sempadan sungai di kiri-kanan sungai atau anak sungai, serta kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN) untuk menjamin tetap berlangsung dan berkembangnya hidup keanekaragaman hayati dalam bentuk flora dan fauna.

Sebagai contoh, para mahasiswa –yang kebanyakan sudah menginjak semester akhir– melihat langsung pohon-pohon ekaliptus berbagai usia (baru tanam, 6 hulan, 2 tahun, 5 tahun siap untuk dipanen) tumbuh berdampingan dengan greenbelt –hutan alam yang dipertahankan– dengan didalamnya tetap hidup pohon-pohon unggulan –salah satunya enau (bahasa Batak: bagot atau bargot)– sehingga tetap dapat diambil hasil (air nira)-nya oleh penduduk sekitar untuk dioleh menjadi gula-merah atau minuman khas lokal, tuak.

Pada kunjungan ke HTI para aktivis sempat ikut menanam bibit kemenyan (Batak: haminjon), vegetasi lokal yang mengeluarkan aroma khas untuk dijadikan bahan baku kosmetik, dan asap pembakarannya jadi pelengkap ritual sesuatu kepercayaan.

Di kompleks pabrik, para calon sarjana ini memperhatikan sungguh-sungguh pembibitan ekaliptus –dan juga haminjon– dengan mengadopsi teknologi kloning (clone). TPL menghasilkan lebih dari 2 juta bibit ekaliptus untuk ditanam di semua sektor, serta sekitar seribu bibit haminjon per bulan untuk ditanam bersama masyarakat serta untuk dibagi-bagikan secara gratis. Haminjon, terutama dibudidayakan di garis greenbelt atau KPPN di sektor Tele (Humbang Hasundutan) sebagai salah satu habitat terbaiknya di Indonesia. Budidaya haminjon sebagai tanaman kehidupan serta perlindungannya di kawasan konservasi dan blok-blok HTI, sudah merupakan komitmen perusahaan. Seluruh hasilnya diperuntukkan bagi petani sekitar konsesi.

Selain melihat kompleks pembibitan cukup modern yang diisi ratusan ribu pohon-induk (mother plant), para mahasiswa juga menyaksikan proses pembuatan pulp (mulai darfi pencincangan bahan baku, perebusan menjadi bubur, pemutihan, pengeringan, hingga pengepakan) serta proses pengolahan limbah (cair, gas, padat) yang aoutput-nya memenuhi baku mutu. Untuk proses di HTI perusahaan adalah penerima sertifikat PHPL (pengelolaan hutan produksi lestari) dan SVLK (sertifikat verifikasi legalitas kayu). Untuk proses di pabrik menerima ISO 9000 untuk kualitas produksi. Serta untuk proses proses di HTI dan pabrik penerima ISO 14000 dan Proper-hijau (keduanya untuk manajemen lingkungan), serta SMK3 – emas (untuk manajemen ketenagakerjaan). Selain itu perusahaan juga menerima award berkaitan dengan penyelenggaraan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR – corporate social responsibility) atau pemberdayaan masyarakat (CD – communitiy development), nilainya sudah mendekati Rp100 miliar sejak 2003, yang dananya disisihkan dari hasil penjualan bersih (net sales).

Direktur TobaPulp Juanda Panjaitan SE yang ikut melayani para aktivis berpendapat para mahasiswa pada era keterbukaan dewasa ini memang perlu memahami sistem yang dijalankan perusahaan-perusahaan terkemuka, terutama apakah sudah atau belum memenuhi standar-standar mutu (produksi, lingkungan) yang dipersyaratkan oleh negara melalui berbagai undang-undang dan peraturan.

“Kepada setiap pengunjung, terutama mahasiswa dan para akademisi, kami selalu memperlihatkan proses-proses yang sering mengundang perhatian seperti: pembibitan, penanaman, perawatan, pembuatan pulp hingga pengolahan limbah. Tidak ada yang ditutup-tutupi agar tidak terjadi kesalahpahaman informasi,” katanya.

Foto: Istimewa Humas TobaPulp Tagor Manik (Tengah), BEM Amir Hamzah Indra Sakti Nasution (kanan), M. Iqbal Presma UMSU (kiri), melakukan penanaman bersama bibit Haminjon di sektor HTI Aek Nauli TobaPulp.
Foto: Istimewa
Humas TobaPulp Tagor Manik (Tengah), BEM Amir Hamzah Indra Sakti Nasution (kanan), M. Iqbal Presma UMSU (kiri), melakukan penanaman bersama bibit Haminjon di sektor HTI Aek Nauli TobaPulp.

PARMAKSIAN, SUMUTPOS.CO – Menyusul kunjungan “bersejarah” beberapa serikat buruh dan serikat pekerja, serta kemudian beberapa gerakan mahasiswa sejak akhir Mei lalu, Senin (22/6) sembilan orang perwakilan BEM kota Medan dalam suatu aliansi meninjau lagi operasional HTI TPL di sektor Aeknauli dekat kota Parapat, serta proses produksi pulp di pabrik di Parmaksian, Tobasamosir.

Aliansi itu meliputi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) universitas-universitas Amir Hamzah (UnHam), Panca Budi (UnPab), Nommensen (UHN), Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Al-Azhar, Dharmawangsa, Univrsitas Islam Negeri (UIN), Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) dan Universitas Muslim Nusantara (UMN). Mereka diterima Direktur Leonard Hutabarat, manajer Humas Ir Tagor Manik dan beberapa staf.

Kunjungan dimulai dari HTI (hutan tanaman industri) TPL (PT Toba Pulp Lestari,Tbk) sektor Aek Nauli, dekat kota Parapat. Para aktivis berbagai disiplin ilmu (hukum, pertanian, teknik, sosial-politik, dan dakwah) dan sering “turun ke jalan” untuk menyuarakan perlindungan alam, itu, menaruh perhatian khusus terhadap cara-cara pengelolaan hutan tanaman secara lestari dan berkesinambungan (sustainable). Mereka menilainya sesuatu yang unik.

Pembangunan HTI oleh TPL dengan tanaman pokok jenis ekaliptus (Eucalyptus sp) guna dijadikan bahan baku pabrik dalam menghasilkan pulp (bubur kayu) pada kenyataannya dapat disinkronkan dengan konsep perlindungan dan pelestarian hutan alam. Ini, dimungkinkan karena secara umum perusahaan hanya merencanakan pembangunan HTI –yang tidak lain dari perkebunan kayu– seluas 40% dari total luas konsesi 188 ribu hektar yang tersebar di 12 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Pada hal dalam izin dimungkinkan hingga hingga 70%.

Kebijakan tersebut memberi porsi untuk konservasi –hutan alam yang dipertahankan untuk fungsi lindung– di konsesi menjadi jauh lebih luas dari yang dipersyaratkan. Artinya, sebagian hutan alam yang sebenarnya layak-HTI dibiarkan tetap menjadi hutan alam (tidak ditebang) dalam bentuk greenbelt (sekat antarkompartemen hutan tanaman), sempadan sungai di kiri-kanan sungai atau anak sungai, serta kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN) untuk menjamin tetap berlangsung dan berkembangnya hidup keanekaragaman hayati dalam bentuk flora dan fauna.

Sebagai contoh, para mahasiswa –yang kebanyakan sudah menginjak semester akhir– melihat langsung pohon-pohon ekaliptus berbagai usia (baru tanam, 6 hulan, 2 tahun, 5 tahun siap untuk dipanen) tumbuh berdampingan dengan greenbelt –hutan alam yang dipertahankan– dengan didalamnya tetap hidup pohon-pohon unggulan –salah satunya enau (bahasa Batak: bagot atau bargot)– sehingga tetap dapat diambil hasil (air nira)-nya oleh penduduk sekitar untuk dioleh menjadi gula-merah atau minuman khas lokal, tuak.

Pada kunjungan ke HTI para aktivis sempat ikut menanam bibit kemenyan (Batak: haminjon), vegetasi lokal yang mengeluarkan aroma khas untuk dijadikan bahan baku kosmetik, dan asap pembakarannya jadi pelengkap ritual sesuatu kepercayaan.

Di kompleks pabrik, para calon sarjana ini memperhatikan sungguh-sungguh pembibitan ekaliptus –dan juga haminjon– dengan mengadopsi teknologi kloning (clone). TPL menghasilkan lebih dari 2 juta bibit ekaliptus untuk ditanam di semua sektor, serta sekitar seribu bibit haminjon per bulan untuk ditanam bersama masyarakat serta untuk dibagi-bagikan secara gratis. Haminjon, terutama dibudidayakan di garis greenbelt atau KPPN di sektor Tele (Humbang Hasundutan) sebagai salah satu habitat terbaiknya di Indonesia. Budidaya haminjon sebagai tanaman kehidupan serta perlindungannya di kawasan konservasi dan blok-blok HTI, sudah merupakan komitmen perusahaan. Seluruh hasilnya diperuntukkan bagi petani sekitar konsesi.

Selain melihat kompleks pembibitan cukup modern yang diisi ratusan ribu pohon-induk (mother plant), para mahasiswa juga menyaksikan proses pembuatan pulp (mulai darfi pencincangan bahan baku, perebusan menjadi bubur, pemutihan, pengeringan, hingga pengepakan) serta proses pengolahan limbah (cair, gas, padat) yang aoutput-nya memenuhi baku mutu. Untuk proses di HTI perusahaan adalah penerima sertifikat PHPL (pengelolaan hutan produksi lestari) dan SVLK (sertifikat verifikasi legalitas kayu). Untuk proses di pabrik menerima ISO 9000 untuk kualitas produksi. Serta untuk proses proses di HTI dan pabrik penerima ISO 14000 dan Proper-hijau (keduanya untuk manajemen lingkungan), serta SMK3 – emas (untuk manajemen ketenagakerjaan). Selain itu perusahaan juga menerima award berkaitan dengan penyelenggaraan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR – corporate social responsibility) atau pemberdayaan masyarakat (CD – communitiy development), nilainya sudah mendekati Rp100 miliar sejak 2003, yang dananya disisihkan dari hasil penjualan bersih (net sales).

Direktur TobaPulp Juanda Panjaitan SE yang ikut melayani para aktivis berpendapat para mahasiswa pada era keterbukaan dewasa ini memang perlu memahami sistem yang dijalankan perusahaan-perusahaan terkemuka, terutama apakah sudah atau belum memenuhi standar-standar mutu (produksi, lingkungan) yang dipersyaratkan oleh negara melalui berbagai undang-undang dan peraturan.

“Kepada setiap pengunjung, terutama mahasiswa dan para akademisi, kami selalu memperlihatkan proses-proses yang sering mengundang perhatian seperti: pembibitan, penanaman, perawatan, pembuatan pulp hingga pengolahan limbah. Tidak ada yang ditutup-tutupi agar tidak terjadi kesalahpahaman informasi,” katanya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/