27.8 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

Sawit, Bisnis Seksi yang Ditekan di Sana-Sini

Di Indonesia, kata Tofan, pelaku budidaya kelapa sawit ini, 58 persennya merupakan grup perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil. Sisanya, 42 persen, merupakan petani plasma (2 Ha/KK), petani swadaya-kecil, dan petani swadaya menengah-besar, di mana dua yang terakhir mendominasi, sekitar 60 persen.

Lalu, terkait titik api yang menyebabkan terjadinya bencana kabut asap beberapa waktu lalu, Tofan menjelaskan, kurang dari delapan persen berasal dari areal perusahaan konsesi sawit, 20 persen hutan tanaman industri (HTI) dan yang terbesar adalah lahan masyarakat dan area konservasi.

Diakuinya, ada anggota GAPKI yang terindikasi terlibat dan untuk membuktikan bersalah atau tidak, sedang menjalani proses hukum. ‘’Kita hormati proses hukumnya, jika terbukti akan dikeluarkan dari GAPKI, karena kita tak ingin dicemari oleh satu atau dua oknum itu,’’ kata Tofan Mahdi.

Sejumlah pertanyaan pun muncul untuk didiskusikan :Apakah kebakaran hutan/lahan bersifat spesifik Indonesia, spesifik ekosistem atau spesifik lokasi? Apakah kebakaran hutan secara sistematis terkait dengan perkebunan kelapa sawit? Apakah perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab atau korban kebakaran?
Ternyata, dari data yang disertakan Tofan, fenomena kebakaran hutan/lahan terjadi di berbagai tempat, bukan spesifik Indonesia; Kebakaran hutan/lahan Indonesia bukan spesifik karena gambut, karena jumlah hutan/lahan non-gambut yang terbakar hampir sama besarnya (berdasarkan data Global Forest Watch). Bahkan hutan di luar Indonesia yang berupa hutan sub-tropis juga mengalami kebakaran hebat. Dicontohkan bagaimana masyarakat Amerika Serikat dan Eropa yang memiliki disiplin dan kepedulian tinggi pada lingkungan. Namun faktanya, kebakaran hutan/lahan tetap terjadi setiap tahun.

‘’Padahal, Amerika dan Eropa memiliki sistem antisipasi kebakaran hutan terbaik di dunia, dengan peralatan dan teknologi canggih, sumber daya manusia yang tangguh dan dukungan anggaran yang besar. Namun, data menunjukkan kebakaran tetap terjadi,’’ jelas Tofan.

Di Indonesia sendiri, masalah kebakaran lahan dan hutan begitu kompleks karena lokasinya ada yang di dalam konsesi perusahaan, di luar konsesi perusahaan yakni lahan masyarakat dan lahan kawasan hutan, serta kebakaran pada areal konsesi tapi di luar areal tanam. Juga pihak-pihak yang terkait di sana, mulai dari perusahaan, masyarakat/individu, hingga Pemerintah dalam hal proses perizinan, dan regulasi.

Dipaparkan juga beberapa indikasi yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran lahan/hutan. Dari yang tak sengaja seperti membuang puntung rokok ke hutan/ladang, membuat api unggun, hingga yang terindikasi disengaja, yakni membuka lahan dengan membakar (baik karena alasan legal maupun illegal), areal bermasalah dibakar dengan tujuan areal tersebut status quo dan masyarakat/oknum mengambil lahan tersebut; sengaja membakar lahan perusahaan dengan tujuan agar perusahaan dipersalahkan dan izin/HGU perusahaan dicabut, lahan yang telah ditetapkan perusahaan dianggap lahan menganggur sehingga dibakar dan berusaha ditanami oleh oknum; petani padi membakar jerami sisa panen untuk membersihkan lahan, dan sebagainya.

Di Indonesia, kata Tofan, pelaku budidaya kelapa sawit ini, 58 persennya merupakan grup perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil. Sisanya, 42 persen, merupakan petani plasma (2 Ha/KK), petani swadaya-kecil, dan petani swadaya menengah-besar, di mana dua yang terakhir mendominasi, sekitar 60 persen.

Lalu, terkait titik api yang menyebabkan terjadinya bencana kabut asap beberapa waktu lalu, Tofan menjelaskan, kurang dari delapan persen berasal dari areal perusahaan konsesi sawit, 20 persen hutan tanaman industri (HTI) dan yang terbesar adalah lahan masyarakat dan area konservasi.

Diakuinya, ada anggota GAPKI yang terindikasi terlibat dan untuk membuktikan bersalah atau tidak, sedang menjalani proses hukum. ‘’Kita hormati proses hukumnya, jika terbukti akan dikeluarkan dari GAPKI, karena kita tak ingin dicemari oleh satu atau dua oknum itu,’’ kata Tofan Mahdi.

Sejumlah pertanyaan pun muncul untuk didiskusikan :Apakah kebakaran hutan/lahan bersifat spesifik Indonesia, spesifik ekosistem atau spesifik lokasi? Apakah kebakaran hutan secara sistematis terkait dengan perkebunan kelapa sawit? Apakah perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab atau korban kebakaran?
Ternyata, dari data yang disertakan Tofan, fenomena kebakaran hutan/lahan terjadi di berbagai tempat, bukan spesifik Indonesia; Kebakaran hutan/lahan Indonesia bukan spesifik karena gambut, karena jumlah hutan/lahan non-gambut yang terbakar hampir sama besarnya (berdasarkan data Global Forest Watch). Bahkan hutan di luar Indonesia yang berupa hutan sub-tropis juga mengalami kebakaran hebat. Dicontohkan bagaimana masyarakat Amerika Serikat dan Eropa yang memiliki disiplin dan kepedulian tinggi pada lingkungan. Namun faktanya, kebakaran hutan/lahan tetap terjadi setiap tahun.

‘’Padahal, Amerika dan Eropa memiliki sistem antisipasi kebakaran hutan terbaik di dunia, dengan peralatan dan teknologi canggih, sumber daya manusia yang tangguh dan dukungan anggaran yang besar. Namun, data menunjukkan kebakaran tetap terjadi,’’ jelas Tofan.

Di Indonesia sendiri, masalah kebakaran lahan dan hutan begitu kompleks karena lokasinya ada yang di dalam konsesi perusahaan, di luar konsesi perusahaan yakni lahan masyarakat dan lahan kawasan hutan, serta kebakaran pada areal konsesi tapi di luar areal tanam. Juga pihak-pihak yang terkait di sana, mulai dari perusahaan, masyarakat/individu, hingga Pemerintah dalam hal proses perizinan, dan regulasi.

Dipaparkan juga beberapa indikasi yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran lahan/hutan. Dari yang tak sengaja seperti membuang puntung rokok ke hutan/ladang, membuat api unggun, hingga yang terindikasi disengaja, yakni membuka lahan dengan membakar (baik karena alasan legal maupun illegal), areal bermasalah dibakar dengan tujuan areal tersebut status quo dan masyarakat/oknum mengambil lahan tersebut; sengaja membakar lahan perusahaan dengan tujuan agar perusahaan dipersalahkan dan izin/HGU perusahaan dicabut, lahan yang telah ditetapkan perusahaan dianggap lahan menganggur sehingga dibakar dan berusaha ditanami oleh oknum; petani padi membakar jerami sisa panen untuk membersihkan lahan, dan sebagainya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/