31.8 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Sajak Seratus Kata tentang Alquran dan Rasulullah

Foto: Boy Slamet/Jawa Pos
Jemaah Masjid Jingjue kota Nanjing Provinsi Jiangsu, China tampak mengikuti ibadah Shalat Tarawih (2/6/2017). Mereka terdiri atas Muslim warga lokal dan pendatang maupun ekspatriat dari berbagai negara. Shalat Tarawih dan Witir sebanyak 21 rakaat.

Pengelolaan Dibantu Pemerintah

Malam itu sekitar 50 orang mengikuti salat Tarawih di Masjid Jingjue. Masjid tersebut mampu menampung sekitar 200 jamaah. Tidak terlalu ramai memang meski terhitung masih di awal Ramadan.

”Setiap hari ya seperti ini suasananya,” kata Susi Safitri, mahasiswa asal Indonesia yang jadi pemandu kami. ”Karena memang populasi muslim di sini tidak terlalu banyak,” tambahnya.

Malam itu kami salat Tarawih di masjid tua tersebut. Tak banyak perbedaan dengan Tarawih di Indonesia. Total 23 rakaat. Yang berbeda dengan di Indonesia, masjid di Tiongkok tak punya jamaah tetap. ”Biasanya yang salat adalah pengurus masjid, penjaga masjid, dan para musafir yang singgah. Selebihnya tidak ada,” katanya.

Yang juga berbeda adalah pengelolaan. Untuk biaya operasional, takmir mendapat bantuan dari pemerintah meski tidak banyak. Dan tentu saja mengandalkan infak dari jamaah.

Struktur kepengurusan juga lebih formal. Mereka mempunyai struktur resmi dan baku. Duduk dalam struktur yang paling atas perwakilan pemerintah Tiongkok. Baru kemudian di bawahnya ada para ahong (imam masjid), lalu pengurus harian.

Para takmir itu mendapat gaji dan kantor serta bekerja layaknya pegawai negeri sipil. ”Ada jam kerjanya dan mereka terikat betul dengan aturan birokrasi,” ucap Susi.

Ahong Masjid Jingjue juga ramah. Ketika Jawa Pos meminta waktu untuk bertemu keturunan Cheng Ho, mereka sangat welcome. ”Beliau malah senang jika ada yang tanya soal Zheng He (Cheng Ho, Red),” kata Feng Bao Qian, pemimpin ahong Masjid Jingjue.

Para pengurus dan ahong di Masjid Jingjue itu juga sangat terbuka kepada tiap muslim yang datang. Bukan hanya dari Nanjing, tetapi juga dari negara lain. ”Kami yakin yang datang ke sini selalu membawa niat baik. Tidak ada yang bermaksud jahat,” terang Feng.

Bahkan, seorang muslim yang belum dikenal pun bisa mengakses fasilitas apa pun di dalam kompleks masjid seluas sekitar 1.000 meter persegi tersebut. Termasuk yang sekadar datang dan tidur-tiduran di dalam masjid. Sangat nyaman untuk musafir yang ingin sekadar sejenak melepas lelah. (*/c9/nw)

Foto: Boy Slamet/Jawa Pos
Jemaah Masjid Jingjue kota Nanjing Provinsi Jiangsu, China tampak mengikuti ibadah Shalat Tarawih (2/6/2017). Mereka terdiri atas Muslim warga lokal dan pendatang maupun ekspatriat dari berbagai negara. Shalat Tarawih dan Witir sebanyak 21 rakaat.

Pengelolaan Dibantu Pemerintah

Malam itu sekitar 50 orang mengikuti salat Tarawih di Masjid Jingjue. Masjid tersebut mampu menampung sekitar 200 jamaah. Tidak terlalu ramai memang meski terhitung masih di awal Ramadan.

”Setiap hari ya seperti ini suasananya,” kata Susi Safitri, mahasiswa asal Indonesia yang jadi pemandu kami. ”Karena memang populasi muslim di sini tidak terlalu banyak,” tambahnya.

Malam itu kami salat Tarawih di masjid tua tersebut. Tak banyak perbedaan dengan Tarawih di Indonesia. Total 23 rakaat. Yang berbeda dengan di Indonesia, masjid di Tiongkok tak punya jamaah tetap. ”Biasanya yang salat adalah pengurus masjid, penjaga masjid, dan para musafir yang singgah. Selebihnya tidak ada,” katanya.

Yang juga berbeda adalah pengelolaan. Untuk biaya operasional, takmir mendapat bantuan dari pemerintah meski tidak banyak. Dan tentu saja mengandalkan infak dari jamaah.

Struktur kepengurusan juga lebih formal. Mereka mempunyai struktur resmi dan baku. Duduk dalam struktur yang paling atas perwakilan pemerintah Tiongkok. Baru kemudian di bawahnya ada para ahong (imam masjid), lalu pengurus harian.

Para takmir itu mendapat gaji dan kantor serta bekerja layaknya pegawai negeri sipil. ”Ada jam kerjanya dan mereka terikat betul dengan aturan birokrasi,” ucap Susi.

Ahong Masjid Jingjue juga ramah. Ketika Jawa Pos meminta waktu untuk bertemu keturunan Cheng Ho, mereka sangat welcome. ”Beliau malah senang jika ada yang tanya soal Zheng He (Cheng Ho, Red),” kata Feng Bao Qian, pemimpin ahong Masjid Jingjue.

Para pengurus dan ahong di Masjid Jingjue itu juga sangat terbuka kepada tiap muslim yang datang. Bukan hanya dari Nanjing, tetapi juga dari negara lain. ”Kami yakin yang datang ke sini selalu membawa niat baik. Tidak ada yang bermaksud jahat,” terang Feng.

Bahkan, seorang muslim yang belum dikenal pun bisa mengakses fasilitas apa pun di dalam kompleks masjid seluas sekitar 1.000 meter persegi tersebut. Termasuk yang sekadar datang dan tidur-tiduran di dalam masjid. Sangat nyaman untuk musafir yang ingin sekadar sejenak melepas lelah. (*/c9/nw)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/