26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

20.388 Orang Gangguan Jiwa Berat Tersebar di Sumut, Jangan Ditelantarkan, Apalagi Dipasung

PASIEN ISTIRAHAT: Pasien beristirahat di kamar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Jalan Mahoni Medan, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sedikitnya ada 20.388 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) berat, tersebar di kabupaten/kota di Sumut. Jumlah tersebut berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018. Mereka rentan mendapat perlakuan yang salah, seperti ditelantarkan, dipasung, dan lainnya.

Kepala Dinas Kesehatan Sumut dr Alwi Mujahid Hasibuan mengatakan ODGJ merupakan salah satu indikator program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga. Artinya, setiap ODGJ berat harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar. “ODGJ ini merupakan salah satu indikator program kesehatan jiwa. Jadi, ODGJ atau yang mengalami gangguan jiwa berat tidak boleh ditelantarkan,” ujar Alwi kepada wartawan, Senin (21/10).

Menurutnya, selain merupakan salah satu program Indonesia sehat berbasis keluarga, ODGJ juga merupakan salah satu standar pelayanan minimal urusan kesehatan di kabupaten/kota. Misalnya, bagaimana pelayanan di fasilitas kesehatan seperti Puskesmas sesuai standard. “Maka dari itu, seharusnya kabupaten/kota mempunyai program untuk penanggulangan atau penatalaksanaannya,” sebut Alwi.

Disinggung mengenai masih adanya ODGJ di Sumut yang dijalanan dan dipasung, Alwi tak menampik. Kata dia, dalam menyelesaikan persoalan itu satu persatu tidak serta-merta. “Harus dibangun dengan pendekatan keluarga, tidak bisa serta-merta dibebaskan. Selain itu, melakukan pendampingan untuk pemberian obat karena ODGJ ini harus minum obat,” jelasnya.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Dinkes Sumut, Hery Valona B Ambarita mengatakan, ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala, dan atau perubahan perilaku yang bermakna serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Diutarakan Hery, berdasarkan hasil Riskesdas 2018 prevalensi gangguan jiwa berat di Sumut 0,14 persen (Indonesia 1,7 per mil atau 0,17 persen). Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anak ganggguan jiwa berat 14 persen. Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia umur di atas 15 tahun mencapai 11,6 persen. Sedangkan penduduk Sumut (BPS 2019) berjumlah 14.562.549 jiwa.

“Diperkirakan ada sekitar 20.388 ODGJ berat tersebar di kabupaten/kota yang rentan mendapat perlakuan yang salah. Jumlah orang yang dipasung dari Januari sampai September di Sumut sebanyak 428 orang, dan yang sudah mendapatkan layanan 353 orang. Kemudian, yang dilepas 40 orang serta temuan kasus baru tahun ini 14 orang. Adapun jumlah ODGJ yang datang ke Puskesmas sebanyak 4.139 orang,” papar Hery.

Menurut Hery, ada 4 program Dinkes Sumut dalam mendukung Pengendalian Penyakit Masalah Kesehatan Jiwa Nasional (P2MKJN) yaitu sosialisasi, melakukan koordinasi dan advokasi lintas sektor dengan membentuk Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM).

Selanjutnya, peningkatan kapasitas SDM dengan melakukan peningkatan kapasitas pengelola program kesehatan jiwa, pelatihan kepada dokter, perawat Puskesmas untuk mendeteksi dini dan penatalaksanaan ODGJ serta pelatihan. Terakhir, pengadaan obat jiwa, bantuan teknis dengan membawa tim dokter spesialis kesehatan jiwa, perawat spesialis jiwa dan pengelola program kesehatan jiwa. “Selanjutnya melakukan monitoring dan evaluasi,” ujarnya.

“Saat ini, baru 6 kabupaten/kota yang memiliki TPKJM yaitu Medan, Deliserdang, Binjai, Batubara, Taput dan Sibolga. Lalu, ada 105 Puskesmas di kabupaten/kota yang memiliki dokter dan perawat terlatih. Namun, ada juga yang belum memiliki dokter spesialis jiwa. Sedangkan dari 23 RSUD yang memberikan layanan jiwa, hanya 4 diantaranya memberikan layanan rawat inap yaitu Pirngadi Medan, Deli Serdang, Rantau Prapat Labuhan Batu dan Rondahaim Simalungun,” jabarnya.

Hery menyatakan, kasus ODGJ tidak hanya menjadi tanggung jawab pihaknya saja. Namun, sangat diperlukan kerja sama lintas sektoral karena saat ini kurangnya koordinasi lintas sektor dalam penanggulangannya. Sebab, ada anggapan bahwa program kesehatan jiwa bukan skala prioritas sehingga minimnya perhatian dan minimnya anggaran.

“Tantangan yang dihadapi adalah masih adanya stigma yang berfikir bukan penyakit kesehatan, pengetahuan dan ekonomi karena banyak ODGJ yang tidak masuk BPJS Kesehatan. Kemudian, kurangnya tenaga terlatih di Puskesmas disebabkan kurangnya anggaran dan adanya yang diberi pelatihan pindah tugas atau tugas tersebbut tidak diberikan kepadanya. Tak hanya itu, dukungan APBD kabuapten/kota minim dan ada yang tidak menganggarkan untuk kesehatan jiwa,” beber Hery.

Lebih lanjut Hery mengatakan, terkait program melakukan advokasi pada kabupaten/kota tentang pelayanan jiwa kepada masyarakat yaitu membentuk TPKJM dengan dana dari provinsi, pihaknya mengundang semua yang terkait termasuk penanganan yang terlantar selama ini ditangkap dipindah ke daerah lain. Tapi, dengan TPKJM yang terlantar tanpa melihat identitasnya harus ditangani.

“Harapannya dengan terbentuknya TPKJM ada protapnya bagaimana menangani yang terlantar dan bagaimana yang dipasung harus mendapatkan pelayanan di fasyankes sesuai dengan program ketiga. Artinya, yang terlantar ini harus terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dan mekanismenya dibicarakan di TPKJM. Karena, kebanyakan ODGJ ekonominya sangat rendah. Juga, kepedulian keluarga dengan ODGJ sangat rendah dengan gangguan fisik lain,” terang Hery.

Disinggung hasil Riskesdas terjadi peningkatan ODGJ, Hery mengaku, bukan orangnya yang bertambah. Namun, dengan sudah jalannya program dimana di bawah tahun 2017 tidak berjalan seperti yang diharapkan. (ris)

PASIEN ISTIRAHAT: Pasien beristirahat di kamar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Jalan Mahoni Medan, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sedikitnya ada 20.388 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) berat, tersebar di kabupaten/kota di Sumut. Jumlah tersebut berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018. Mereka rentan mendapat perlakuan yang salah, seperti ditelantarkan, dipasung, dan lainnya.

Kepala Dinas Kesehatan Sumut dr Alwi Mujahid Hasibuan mengatakan ODGJ merupakan salah satu indikator program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga. Artinya, setiap ODGJ berat harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar. “ODGJ ini merupakan salah satu indikator program kesehatan jiwa. Jadi, ODGJ atau yang mengalami gangguan jiwa berat tidak boleh ditelantarkan,” ujar Alwi kepada wartawan, Senin (21/10).

Menurutnya, selain merupakan salah satu program Indonesia sehat berbasis keluarga, ODGJ juga merupakan salah satu standar pelayanan minimal urusan kesehatan di kabupaten/kota. Misalnya, bagaimana pelayanan di fasilitas kesehatan seperti Puskesmas sesuai standard. “Maka dari itu, seharusnya kabupaten/kota mempunyai program untuk penanggulangan atau penatalaksanaannya,” sebut Alwi.

Disinggung mengenai masih adanya ODGJ di Sumut yang dijalanan dan dipasung, Alwi tak menampik. Kata dia, dalam menyelesaikan persoalan itu satu persatu tidak serta-merta. “Harus dibangun dengan pendekatan keluarga, tidak bisa serta-merta dibebaskan. Selain itu, melakukan pendampingan untuk pemberian obat karena ODGJ ini harus minum obat,” jelasnya.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Dinkes Sumut, Hery Valona B Ambarita mengatakan, ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala, dan atau perubahan perilaku yang bermakna serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Diutarakan Hery, berdasarkan hasil Riskesdas 2018 prevalensi gangguan jiwa berat di Sumut 0,14 persen (Indonesia 1,7 per mil atau 0,17 persen). Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anak ganggguan jiwa berat 14 persen. Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia umur di atas 15 tahun mencapai 11,6 persen. Sedangkan penduduk Sumut (BPS 2019) berjumlah 14.562.549 jiwa.

“Diperkirakan ada sekitar 20.388 ODGJ berat tersebar di kabupaten/kota yang rentan mendapat perlakuan yang salah. Jumlah orang yang dipasung dari Januari sampai September di Sumut sebanyak 428 orang, dan yang sudah mendapatkan layanan 353 orang. Kemudian, yang dilepas 40 orang serta temuan kasus baru tahun ini 14 orang. Adapun jumlah ODGJ yang datang ke Puskesmas sebanyak 4.139 orang,” papar Hery.

Menurut Hery, ada 4 program Dinkes Sumut dalam mendukung Pengendalian Penyakit Masalah Kesehatan Jiwa Nasional (P2MKJN) yaitu sosialisasi, melakukan koordinasi dan advokasi lintas sektor dengan membentuk Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM).

Selanjutnya, peningkatan kapasitas SDM dengan melakukan peningkatan kapasitas pengelola program kesehatan jiwa, pelatihan kepada dokter, perawat Puskesmas untuk mendeteksi dini dan penatalaksanaan ODGJ serta pelatihan. Terakhir, pengadaan obat jiwa, bantuan teknis dengan membawa tim dokter spesialis kesehatan jiwa, perawat spesialis jiwa dan pengelola program kesehatan jiwa. “Selanjutnya melakukan monitoring dan evaluasi,” ujarnya.

“Saat ini, baru 6 kabupaten/kota yang memiliki TPKJM yaitu Medan, Deliserdang, Binjai, Batubara, Taput dan Sibolga. Lalu, ada 105 Puskesmas di kabupaten/kota yang memiliki dokter dan perawat terlatih. Namun, ada juga yang belum memiliki dokter spesialis jiwa. Sedangkan dari 23 RSUD yang memberikan layanan jiwa, hanya 4 diantaranya memberikan layanan rawat inap yaitu Pirngadi Medan, Deli Serdang, Rantau Prapat Labuhan Batu dan Rondahaim Simalungun,” jabarnya.

Hery menyatakan, kasus ODGJ tidak hanya menjadi tanggung jawab pihaknya saja. Namun, sangat diperlukan kerja sama lintas sektoral karena saat ini kurangnya koordinasi lintas sektor dalam penanggulangannya. Sebab, ada anggapan bahwa program kesehatan jiwa bukan skala prioritas sehingga minimnya perhatian dan minimnya anggaran.

“Tantangan yang dihadapi adalah masih adanya stigma yang berfikir bukan penyakit kesehatan, pengetahuan dan ekonomi karena banyak ODGJ yang tidak masuk BPJS Kesehatan. Kemudian, kurangnya tenaga terlatih di Puskesmas disebabkan kurangnya anggaran dan adanya yang diberi pelatihan pindah tugas atau tugas tersebbut tidak diberikan kepadanya. Tak hanya itu, dukungan APBD kabuapten/kota minim dan ada yang tidak menganggarkan untuk kesehatan jiwa,” beber Hery.

Lebih lanjut Hery mengatakan, terkait program melakukan advokasi pada kabupaten/kota tentang pelayanan jiwa kepada masyarakat yaitu membentuk TPKJM dengan dana dari provinsi, pihaknya mengundang semua yang terkait termasuk penanganan yang terlantar selama ini ditangkap dipindah ke daerah lain. Tapi, dengan TPKJM yang terlantar tanpa melihat identitasnya harus ditangani.

“Harapannya dengan terbentuknya TPKJM ada protapnya bagaimana menangani yang terlantar dan bagaimana yang dipasung harus mendapatkan pelayanan di fasyankes sesuai dengan program ketiga. Artinya, yang terlantar ini harus terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dan mekanismenya dibicarakan di TPKJM. Karena, kebanyakan ODGJ ekonominya sangat rendah. Juga, kepedulian keluarga dengan ODGJ sangat rendah dengan gangguan fisik lain,” terang Hery.

Disinggung hasil Riskesdas terjadi peningkatan ODGJ, Hery mengaku, bukan orangnya yang bertambah. Namun, dengan sudah jalannya program dimana di bawah tahun 2017 tidak berjalan seperti yang diharapkan. (ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/