29 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Dibom! Sembilan Meledak, Arca Bima Lolos

Foto: Repro buku Borobudur Sketsa Borobudur ketika dipugar karya Daoed Joesoef.
Foto: Repro buku Borobudur
Sketsa Borobudur ketika dipugar karya Daoed Joesoef.

DITUDUH berhala terbesar, Borobudur dibom. Dari 11 bom, sembilan yang meledak. Anehnya, bom yang dipasang di punggung arca Bima, arca yang dikeramatkan sebagian pengunjung, tak meledak.

Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network

Almanak bertarekh 1953 ketika Daoed Joesoef (mahasiswa UI) dan Adi Putera Parlindungan (mahasiswa UGM) bertandang ke Candi Borobudur.

Saat itu keadaan candi, “semuanya serba miring dan berlumut. Di sana-sini bahkan bermunculan tunas-tunas kecil pohon kayu,” kenang Daoed Joesoef yang ketika itu berusia 27 tahun.

Waktu akan menapaki candi, pemilik warung yang mereka singgahi mengingatkan supaya berhati-hati kalau menaiki candi, karena sewaktu-waktu bisa runtuh.

Tetap saja keduanya naik ke puncak candi yang tak berpenjaga seorang pun. “Orang-orang yang ingin mengunjungi candi, tampaknya hanya kami berdua,” tuturnya bernostalgia.

Menjelang sore, halaman candi yang luas kian ramai. Pedagang aneka minuman panas, kacang, ketela, jagung rebus, pecel, nasi gudeg, tongseng, mi rebus berdatangan.

Orang yang menaiki candi pun kian ramai. Ada yang menyendiri, semedi sambil membakar menyan. Ada yang gerombolan.

Dan tak sedikit pasangan muda-mudi yang datang untuk memadu kasih. Maka tak ayal, di dinding candi yang penuh relief itu banyak goresan kenangan tanda cinta kasih. Lengkap dengan nama dan tanggalnya.

Maka wajar pula di sana banyak sampah. Mulai dari daun, kulit pisang, kertas pembungkus, puntung rokok, tongkol jagung hingga sisa-sisa makanan.

Menurut info yang didapat Daoed, “kabarnya Borobudur baru dibersihkan bila akan ada kunjungan dari pembesar.” Malam itu Daoed Joesoef dan Adi Putera Parlindungan menikmati indahnya pancaran bulan purnama di puncak Borobudur.

“Seakan-akan tak ada lagi jarak antara langit dan bumi dan dari peleburan yang syahdu menjadi keseluruhan ini memancar makna kehidupan yang mencuat hingga ke dalam keabadian,” begitu kesan Dooed dalam kunjungan pertamanya ke Borobudur, 1953.

Antara 1968-1971, Daoed Joesoef sekolah di Sorbonne dan tinggal di Paris, ibukota Prancis. Daoed rutin berkunjung ke UNESCO–lembaga pendidikan, keilmuan dan kebudayaan PBB yang berkedudukan di kota itu. “Karena perpustakannya relatif lengkap,” katanya.

Apalagi, lembaga ini sering menghelat seminar terbuka dan pameran seni budaya dari berbagai bangsa. Kemudian hari dia mengetahui UNESCO punya dana khusus untuk membiayai pemugaran monumen warisan dunia.

Kala itu, lembaga PBB tersebut sedang menggarap proyek Abu Simbel di tepi Sungai Nil, Mesir. Setelah proyek ini selesai, anggaran selanjutnya akan diperebutkan. Daoed terbayang Borobudur.

Foto: Repro buku Borobudur Sketsa Borobudur ketika dipugar karya Daoed Joesoef.
Foto: Repro buku Borobudur
Sketsa Borobudur ketika dipugar karya Daoed Joesoef.

DITUDUH berhala terbesar, Borobudur dibom. Dari 11 bom, sembilan yang meledak. Anehnya, bom yang dipasang di punggung arca Bima, arca yang dikeramatkan sebagian pengunjung, tak meledak.

Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network

Almanak bertarekh 1953 ketika Daoed Joesoef (mahasiswa UI) dan Adi Putera Parlindungan (mahasiswa UGM) bertandang ke Candi Borobudur.

Saat itu keadaan candi, “semuanya serba miring dan berlumut. Di sana-sini bahkan bermunculan tunas-tunas kecil pohon kayu,” kenang Daoed Joesoef yang ketika itu berusia 27 tahun.

Waktu akan menapaki candi, pemilik warung yang mereka singgahi mengingatkan supaya berhati-hati kalau menaiki candi, karena sewaktu-waktu bisa runtuh.

Tetap saja keduanya naik ke puncak candi yang tak berpenjaga seorang pun. “Orang-orang yang ingin mengunjungi candi, tampaknya hanya kami berdua,” tuturnya bernostalgia.

Menjelang sore, halaman candi yang luas kian ramai. Pedagang aneka minuman panas, kacang, ketela, jagung rebus, pecel, nasi gudeg, tongseng, mi rebus berdatangan.

Orang yang menaiki candi pun kian ramai. Ada yang menyendiri, semedi sambil membakar menyan. Ada yang gerombolan.

Dan tak sedikit pasangan muda-mudi yang datang untuk memadu kasih. Maka tak ayal, di dinding candi yang penuh relief itu banyak goresan kenangan tanda cinta kasih. Lengkap dengan nama dan tanggalnya.

Maka wajar pula di sana banyak sampah. Mulai dari daun, kulit pisang, kertas pembungkus, puntung rokok, tongkol jagung hingga sisa-sisa makanan.

Menurut info yang didapat Daoed, “kabarnya Borobudur baru dibersihkan bila akan ada kunjungan dari pembesar.” Malam itu Daoed Joesoef dan Adi Putera Parlindungan menikmati indahnya pancaran bulan purnama di puncak Borobudur.

“Seakan-akan tak ada lagi jarak antara langit dan bumi dan dari peleburan yang syahdu menjadi keseluruhan ini memancar makna kehidupan yang mencuat hingga ke dalam keabadian,” begitu kesan Dooed dalam kunjungan pertamanya ke Borobudur, 1953.

Antara 1968-1971, Daoed Joesoef sekolah di Sorbonne dan tinggal di Paris, ibukota Prancis. Daoed rutin berkunjung ke UNESCO–lembaga pendidikan, keilmuan dan kebudayaan PBB yang berkedudukan di kota itu. “Karena perpustakannya relatif lengkap,” katanya.

Apalagi, lembaga ini sering menghelat seminar terbuka dan pameran seni budaya dari berbagai bangsa. Kemudian hari dia mengetahui UNESCO punya dana khusus untuk membiayai pemugaran monumen warisan dunia.

Kala itu, lembaga PBB tersebut sedang menggarap proyek Abu Simbel di tepi Sungai Nil, Mesir. Setelah proyek ini selesai, anggaran selanjutnya akan diperebutkan. Daoed terbayang Borobudur.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/