26.7 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Aturan Tegas, Jaga Netralitas TNI-Polri

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
MENDAFTAR_Bakal calon gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi (ketiga kiri) bersama bakal calon wakil gubernur Musa Rajeckshah (kedua kiri) menyerahkan berkas pendaftaran kepada Ketua KPU Sumut Mulia Banurea (kedua kanan) di kantor KPU Medan, Senin (8/1). Edy Rahmayadi merupakan calon kepala daerah berlatar belakang TNI–Polri yang turut dalam pilkada serentak tahun ini .

SUMUTPOS.CO – KEHADIRAN calon kepala daerah berlatar belakang TNI–Polri dalam pilkada serentak tahun ini memicu banyak reaksi. Di antaranya soal aturan yang membatasi mereka untuk bertarung dalam agenda politik tersebut. Beberapa pihak menilai perlu aturan baru yang lebih tegas. Tentu bukan untuk menjegal prajurit TNI atau anggota Polri mencalonkan diri. Melainkan untuk memastikan netralitas kedua institusi tersebut.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mengungkapkan, pilkada serentak tahun ini bakal menjadi ujian bagi TNI–Polri. Sebab, agenda tersebut bakal disambung hajatan politik lainnya. Yakni pilpres dan pileg. Meski dilaksanakan tahun depan, tahapannya mulai berjalan tahun ini. ”Maka dari itu 2018 sangat menentukan. Akan jadi parameter ujian bagi TNI – Polri. Apakah mampu menjaga netralitas,” tutur Yati.

Meski Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian sudah menegaskan bahwa instansi yang mereka pimpin netral dalam setiap pesta demokrasi, Yati menyampaikan, potensi terjadi pelanggaran masih ada. Apalagi jika prajurit TNI aktif dan anggota Polri aktif dibiarkan turut ambil bagian dalam politik praktis. ”Itu bisa menginspirasi anggota TNI – Polri (lainnya) ke depan maju sebagai kandidat dalam pilkada,” imbuhnya.

Yati mengakui, pencalonan kepala daerah berlatar belakang TNI–Polri disusul dengan pengunduran diri dari masing-masing institusi. Namun, dia menilai bahwa itu tidak lantas menyelesaikan persoalan. Mengingat ada agenda reformasi sektor keamanan yang terganggu. ”Kalau anggota TNI – Polri diberi ruang untuk politik praktis tanpa aturan yang memadai bisa menimbulkan konflik kepentingan di internal TNI – Polri,” beber dia.

Untuk itu, Yati menilai bahwa pemerintah harus bersikap. Aturan pilkada yang ada dibuat lebih tegas. Tidak sebatas mewajibkan anggota TNI – Polri yang mencalonkan diri mundur maksimal 60 hari setelah ditetapkan sebagai calon. Melainkan jauh sebelum itu. ”Perlu dilakukan pengaturan yang lebih jelas dan spesifik. Khususnya berkenaan dengan tenggang waktu pengunduran diri. Harus jauh sebelum proses pencalonan di tingkat partai dan pendaftaran di KPU,” terangnya.

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
MENDAFTAR_Bakal calon gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi (ketiga kiri) bersama bakal calon wakil gubernur Musa Rajeckshah (kedua kiri) menyerahkan berkas pendaftaran kepada Ketua KPU Sumut Mulia Banurea (kedua kanan) di kantor KPU Medan, Senin (8/1). Edy Rahmayadi merupakan calon kepala daerah berlatar belakang TNI–Polri yang turut dalam pilkada serentak tahun ini .

SUMUTPOS.CO – KEHADIRAN calon kepala daerah berlatar belakang TNI–Polri dalam pilkada serentak tahun ini memicu banyak reaksi. Di antaranya soal aturan yang membatasi mereka untuk bertarung dalam agenda politik tersebut. Beberapa pihak menilai perlu aturan baru yang lebih tegas. Tentu bukan untuk menjegal prajurit TNI atau anggota Polri mencalonkan diri. Melainkan untuk memastikan netralitas kedua institusi tersebut.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mengungkapkan, pilkada serentak tahun ini bakal menjadi ujian bagi TNI–Polri. Sebab, agenda tersebut bakal disambung hajatan politik lainnya. Yakni pilpres dan pileg. Meski dilaksanakan tahun depan, tahapannya mulai berjalan tahun ini. ”Maka dari itu 2018 sangat menentukan. Akan jadi parameter ujian bagi TNI – Polri. Apakah mampu menjaga netralitas,” tutur Yati.

Meski Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian sudah menegaskan bahwa instansi yang mereka pimpin netral dalam setiap pesta demokrasi, Yati menyampaikan, potensi terjadi pelanggaran masih ada. Apalagi jika prajurit TNI aktif dan anggota Polri aktif dibiarkan turut ambil bagian dalam politik praktis. ”Itu bisa menginspirasi anggota TNI – Polri (lainnya) ke depan maju sebagai kandidat dalam pilkada,” imbuhnya.

Yati mengakui, pencalonan kepala daerah berlatar belakang TNI–Polri disusul dengan pengunduran diri dari masing-masing institusi. Namun, dia menilai bahwa itu tidak lantas menyelesaikan persoalan. Mengingat ada agenda reformasi sektor keamanan yang terganggu. ”Kalau anggota TNI – Polri diberi ruang untuk politik praktis tanpa aturan yang memadai bisa menimbulkan konflik kepentingan di internal TNI – Polri,” beber dia.

Untuk itu, Yati menilai bahwa pemerintah harus bersikap. Aturan pilkada yang ada dibuat lebih tegas. Tidak sebatas mewajibkan anggota TNI – Polri yang mencalonkan diri mundur maksimal 60 hari setelah ditetapkan sebagai calon. Melainkan jauh sebelum itu. ”Perlu dilakukan pengaturan yang lebih jelas dan spesifik. Khususnya berkenaan dengan tenggang waktu pengunduran diri. Harus jauh sebelum proses pencalonan di tingkat partai dan pendaftaran di KPU,” terangnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/