25.6 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Usung Capres, Parpol Wajib Koalisi

Saldi Isra menambahkan, pemberian kursi sekurangnya 20 persen dari jumlah kursi DPR tidak menjamin terjadinya stabilitas pemerintahan. Apalagi, tidak ada jaminan, hasil di pemilu 2019 akan sama dengan Pemilu 2014.”Bahkan, yang jauh lebih tragis, bagaimana pula jika partai politik peserta Pemilu DPR 2014 yang mengajukan calon Presiden  dalam Pemilu 2019 tetapi gagal menjadi peserta Pemilu 2019 karena tidak lolos verifikasi faktual,” tuturnya.

Dengan demikian, syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilu akan kembali diberlakukan pada pendaftaran calon presiden Agustus mendatang. Gugatan tersebut dilakukan oleh Partai Idaman dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Di antaranya Perludem, Effendy Ghazali, hingga mantan KPU RI Hadar Nafis Gumay.

Pada pokoknya, pemohon menilai ketentuan yang diatur dalam pasal 222 UU Pemilu 2017 tersebut bersifat diskiminatif. Pasalnya, hak partai politik tidak setara, khususnya bagi yang baru. Apalagi, pelaksanaan pemilu yang dilakukan serentak membuat penggunaan hasil Pemilu 2014 sudah tidak relevan lagi digunakan.

Selain itu, pemohon juga menilai proses lahirnya kesepakatan PT dalam UU Pemilu tidak lepas manipulasi dan tarik ulur kepentingan politik. Sehingga diduga disesuaikan dengan kepentingan penguasa. Terpisah, mantan Ketua MK Mahfud MD menilai MK memang memiliki kewenangan atas putusannya. Putusan MK yang tidak membatalkan pasal terkait presidential threshold merupakan bagian dari kewenangan MK. ”Itu kan open legal polecy. Pilihan MK hanya membatalkan menjadi nol persen atau membiarkan apa yang diputus DPR. Terserah MK saja,” kata Mahfud.

Dalam hal ini, pilihan terhadap penolakan uji materi ternyata diambil oleh MK. Mahfud menilai, putusan itu sudah sesuai dengan tugas dan fungsi MK dalam mengambil putusan. ”Karena kalau MK menentukan angka berapa persen, berapa persen, itu kan ndak ada dasarnya,” lanjut Mahfud.

Lebih lanjut, Mahfud menilai munculnya suara yang kontra terhadap putusan MK adalah hal yang wajar. Sebab, putusan MK di satu sisi memang disambut sukacita bagi yang menang, dan muncul kekecewaan dari yang kalah. ”Saya mengadili ratusan permohonan itu biasa, kalau ada yang tidak puas ya biasa. Tapi yang pasti, putusan MK itu final dan mengikat,” tandasnya.

Saldi Isra menambahkan, pemberian kursi sekurangnya 20 persen dari jumlah kursi DPR tidak menjamin terjadinya stabilitas pemerintahan. Apalagi, tidak ada jaminan, hasil di pemilu 2019 akan sama dengan Pemilu 2014.”Bahkan, yang jauh lebih tragis, bagaimana pula jika partai politik peserta Pemilu DPR 2014 yang mengajukan calon Presiden  dalam Pemilu 2019 tetapi gagal menjadi peserta Pemilu 2019 karena tidak lolos verifikasi faktual,” tuturnya.

Dengan demikian, syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilu akan kembali diberlakukan pada pendaftaran calon presiden Agustus mendatang. Gugatan tersebut dilakukan oleh Partai Idaman dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Di antaranya Perludem, Effendy Ghazali, hingga mantan KPU RI Hadar Nafis Gumay.

Pada pokoknya, pemohon menilai ketentuan yang diatur dalam pasal 222 UU Pemilu 2017 tersebut bersifat diskiminatif. Pasalnya, hak partai politik tidak setara, khususnya bagi yang baru. Apalagi, pelaksanaan pemilu yang dilakukan serentak membuat penggunaan hasil Pemilu 2014 sudah tidak relevan lagi digunakan.

Selain itu, pemohon juga menilai proses lahirnya kesepakatan PT dalam UU Pemilu tidak lepas manipulasi dan tarik ulur kepentingan politik. Sehingga diduga disesuaikan dengan kepentingan penguasa. Terpisah, mantan Ketua MK Mahfud MD menilai MK memang memiliki kewenangan atas putusannya. Putusan MK yang tidak membatalkan pasal terkait presidential threshold merupakan bagian dari kewenangan MK. ”Itu kan open legal polecy. Pilihan MK hanya membatalkan menjadi nol persen atau membiarkan apa yang diputus DPR. Terserah MK saja,” kata Mahfud.

Dalam hal ini, pilihan terhadap penolakan uji materi ternyata diambil oleh MK. Mahfud menilai, putusan itu sudah sesuai dengan tugas dan fungsi MK dalam mengambil putusan. ”Karena kalau MK menentukan angka berapa persen, berapa persen, itu kan ndak ada dasarnya,” lanjut Mahfud.

Lebih lanjut, Mahfud menilai munculnya suara yang kontra terhadap putusan MK adalah hal yang wajar. Sebab, putusan MK di satu sisi memang disambut sukacita bagi yang menang, dan muncul kekecewaan dari yang kalah. ”Saya mengadili ratusan permohonan itu biasa, kalau ada yang tidak puas ya biasa. Tapi yang pasti, putusan MK itu final dan mengikat,” tandasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/