25.6 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Dorongan Moratorium UN Menguat

Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Sejumlah siswa menjalani ujian nasional di Sekolah Negeri Enam, Jalan Bahagia Medan, tahun lalu.
Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Sejumlah siswa menjalani ujian nasional di Sekolah Negeri Enam, Jalan Bahagia Medan, tahun lalu.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dorongan agar Ujian Nasional (UN) dimoratorium makin menguat di tengah kegamangan sikap pemerintah. Kamis (15/12), Perwakilan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyampaikan hasil kajian mengenai moratorium UN kepada Kantor Staf Presiden (KSP) di kompleks Istana Kepresidenan. FSGI mendorong agar moratorium tetap diberlakukan.

Usai pertemuan tertutup, Sekjen FSGI menyatakan bahwa pada dasarnya usulan KSP kepada Presiden hampir sama dengan pihaknya. Namun, ada beberapa hal yang memang baru diketahui oleh KSP. Sehingga, kajian dari FSGI justru memperkuat rumusan usulan yang sudah ada di KSP.

Di antaranya, soal Kriteria Ketentuan Minimum (KKM) yang biasa tertulis di rapor. Selama ini KKM menjadi syarat agar siswa bisa tercatat di Data Pokok Pendiikan (Dapodik) agar bisa mengikuti UN. “Akibatnya, kasih nilai sambil merem saja, yang penting siswa bisa ikut UN,” terang Sekjen FSGI Retno Listyarti.

Begitu pula dengan kualitas SMK. Yang terjadi di lapangan, sangat sedikit SMK yang mengikuti perkembangan teknologi. Belum lagi, lulusan yang hanya mengandalkan magang selama tiga bulan, bahkan masih banyak SMK yang tidak punya laboratorium dan bengkel. Alhasil, lebih banyak teori dibandingkan praktik.

Retno menuturkan, umumnya sekolah saat ini sudah bersiap-siap untuk dua kemungkinan. Baik UN maupun non-UN. Namun, dalam kondisi saat ini, yang paling siap untuk dilakukan bukan lagi UN, melainkan Ujian Sekolah Berstandard Nasional (USBN). Salah satunya karena waktu persiapan teknis UN sudah sangat terlambat. Terutama dalam hal pengadaan soal dan lembar jawaban bila UN berbasis kertas. Sementara, belum semua daerah siap dengan UN berbasis komputer.

Sebenarnya, lanjut Retno, USBN pun bukanlah solusi yang paling ideal untuk menggantikan UN. USBN akan menimbulkan kesan memindahkan masalah dari pusat ke daerah. ’’Tetapi bahwa menteri sudah siap, menyiapkan guru, membuat soal, menyiapkan pola pengawasan, kami berpikir utk memberikan kesempatan,’’ lanjutnya.

Moratorium UN akan memberikan kesempatan kepada pemerintah dan stakeholder pendiikan merumuskan program yang lebih baik bagi siswa. USBN sebagai pengganti tentu akan dievaluasi pelaksanaannya sebagaimana UN.

Ada sejumlah alasan yang diajukan FSGI kepada Presiden melalui KSP. Pertama, UN tidak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan. ’’UN membuat pembelajaran dan pengajaran menjadi kering,’’ tuturnya. Juga, ada disparitas antara mata pelajaran yang diujikan dalam UN dengan yang tidak.

Berikutnya, saat ini kualifikasi guru maupun kualitas sarana pendiikan belum terpeuhi secara merata. Sehingga, tidak mungkin dibuatkan soal ujian dengan indkator yang sama. kemudian, penyelenggaraan UN dengan indikator sama merupakan bentuk ketidakadilan bagi siswa.

Alasan keempat, sebagian besar guru tidak bangga dnegan hasil UN para siswanya. ’’Karena mereka melihat dan mendengar sendiri proses penyebaran kunci jawaban antarsiswa maupun kebocoran soal,’’ ucap Retno. Berbeda dengan USBN di mana guru lah yang membuat soal sehingga tahu betul kemampuan muridnya. Guru juga tidak akan membiarkan siswa mencurangoi soal yang dia buat.

Berikutnya, dampak dari proses curang itu itu adalah hasil UN yang menggambarkan pemetaan ketidakjujuran. Bukan pemetaan kualitas pendiikan. Kemudian, sepanjang UN dilaksanakan secara sentral, maka potensi kebocoran dalam perjalanan selalu ada. UN juga menjadi faktor pendorong banyak pihak untuk tidak jujur.

Hal senada disampaikan pengawas FSGI Itje Chodijah. Dia menjelaskan, pihaknya sudah pernah bertemu dengan perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia. Apindo curhat atas minimnya lulusan sekolah menengah yang punya kualifikasi. ’’Kita belum cukup punya tenaga kerja yang terampil,’’ ujarnya.

Sistem yang ada saat ini lebih banyak mengajak siswa untuk menghafal dibandingkan berpikir. Itu merupakan konsekuensi atas adanya UN yang menguji kemampuan anak dalam menghafal. Alhasil, sekolah jarang membebaskan gurun untuk mengajak siswa bepikir.

Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Sejumlah siswa menjalani ujian nasional di Sekolah Negeri Enam, Jalan Bahagia Medan, tahun lalu.
Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Sejumlah siswa menjalani ujian nasional di Sekolah Negeri Enam, Jalan Bahagia Medan, tahun lalu.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dorongan agar Ujian Nasional (UN) dimoratorium makin menguat di tengah kegamangan sikap pemerintah. Kamis (15/12), Perwakilan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyampaikan hasil kajian mengenai moratorium UN kepada Kantor Staf Presiden (KSP) di kompleks Istana Kepresidenan. FSGI mendorong agar moratorium tetap diberlakukan.

Usai pertemuan tertutup, Sekjen FSGI menyatakan bahwa pada dasarnya usulan KSP kepada Presiden hampir sama dengan pihaknya. Namun, ada beberapa hal yang memang baru diketahui oleh KSP. Sehingga, kajian dari FSGI justru memperkuat rumusan usulan yang sudah ada di KSP.

Di antaranya, soal Kriteria Ketentuan Minimum (KKM) yang biasa tertulis di rapor. Selama ini KKM menjadi syarat agar siswa bisa tercatat di Data Pokok Pendiikan (Dapodik) agar bisa mengikuti UN. “Akibatnya, kasih nilai sambil merem saja, yang penting siswa bisa ikut UN,” terang Sekjen FSGI Retno Listyarti.

Begitu pula dengan kualitas SMK. Yang terjadi di lapangan, sangat sedikit SMK yang mengikuti perkembangan teknologi. Belum lagi, lulusan yang hanya mengandalkan magang selama tiga bulan, bahkan masih banyak SMK yang tidak punya laboratorium dan bengkel. Alhasil, lebih banyak teori dibandingkan praktik.

Retno menuturkan, umumnya sekolah saat ini sudah bersiap-siap untuk dua kemungkinan. Baik UN maupun non-UN. Namun, dalam kondisi saat ini, yang paling siap untuk dilakukan bukan lagi UN, melainkan Ujian Sekolah Berstandard Nasional (USBN). Salah satunya karena waktu persiapan teknis UN sudah sangat terlambat. Terutama dalam hal pengadaan soal dan lembar jawaban bila UN berbasis kertas. Sementara, belum semua daerah siap dengan UN berbasis komputer.

Sebenarnya, lanjut Retno, USBN pun bukanlah solusi yang paling ideal untuk menggantikan UN. USBN akan menimbulkan kesan memindahkan masalah dari pusat ke daerah. ’’Tetapi bahwa menteri sudah siap, menyiapkan guru, membuat soal, menyiapkan pola pengawasan, kami berpikir utk memberikan kesempatan,’’ lanjutnya.

Moratorium UN akan memberikan kesempatan kepada pemerintah dan stakeholder pendiikan merumuskan program yang lebih baik bagi siswa. USBN sebagai pengganti tentu akan dievaluasi pelaksanaannya sebagaimana UN.

Ada sejumlah alasan yang diajukan FSGI kepada Presiden melalui KSP. Pertama, UN tidak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan. ’’UN membuat pembelajaran dan pengajaran menjadi kering,’’ tuturnya. Juga, ada disparitas antara mata pelajaran yang diujikan dalam UN dengan yang tidak.

Berikutnya, saat ini kualifikasi guru maupun kualitas sarana pendiikan belum terpeuhi secara merata. Sehingga, tidak mungkin dibuatkan soal ujian dengan indkator yang sama. kemudian, penyelenggaraan UN dengan indikator sama merupakan bentuk ketidakadilan bagi siswa.

Alasan keempat, sebagian besar guru tidak bangga dnegan hasil UN para siswanya. ’’Karena mereka melihat dan mendengar sendiri proses penyebaran kunci jawaban antarsiswa maupun kebocoran soal,’’ ucap Retno. Berbeda dengan USBN di mana guru lah yang membuat soal sehingga tahu betul kemampuan muridnya. Guru juga tidak akan membiarkan siswa mencurangoi soal yang dia buat.

Berikutnya, dampak dari proses curang itu itu adalah hasil UN yang menggambarkan pemetaan ketidakjujuran. Bukan pemetaan kualitas pendiikan. Kemudian, sepanjang UN dilaksanakan secara sentral, maka potensi kebocoran dalam perjalanan selalu ada. UN juga menjadi faktor pendorong banyak pihak untuk tidak jujur.

Hal senada disampaikan pengawas FSGI Itje Chodijah. Dia menjelaskan, pihaknya sudah pernah bertemu dengan perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia. Apindo curhat atas minimnya lulusan sekolah menengah yang punya kualifikasi. ’’Kita belum cukup punya tenaga kerja yang terampil,’’ ujarnya.

Sistem yang ada saat ini lebih banyak mengajak siswa untuk menghafal dibandingkan berpikir. Itu merupakan konsekuensi atas adanya UN yang menguji kemampuan anak dalam menghafal. Alhasil, sekolah jarang membebaskan gurun untuk mengajak siswa bepikir.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/