30 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

Ada 4 Modus Korupsi Bansos Sumut, Apa Saja?

ilustrasi-korupsi-bansos
Ilustrasi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Modus penggelapan kasus korupsi dana Bansos yang terjadi di sejumlah daerah sebenarnya mirip. Begitu pun yang terjadi pada kasus dana Bansos Pemprov Sumut 2011-2013 yang kini ditangani Kejaksaan Agung.

Jampidsus Kejaksaan Agung Widyo Pramono sudah menyebut, untuk kasus Sumut antara lain modusnya fiktif. Hanya saja, dia tidak menjelaskan secara detil fiktif yang dimaksud, karena menyangkut pokok materi pemeriksaan yang masih ditangani penyidik Satgassus Pemberantasan Korupsi Korps Adyaksa itu.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, membeber modus fiktif yang kerap dimainkan di sejumlah daerah. Donal yang duduk di Divisi Korupsi Politik ICW itu menyebut ada dua kategori fiktif penyaluran Bansos.

“Yang pertama, organisasinya jelas, mengajukan proposal kegiatan. Tapi begitu dana Bansos dicairkan, ternyata tidak ada kegiatan seperti yang tercantum di proposal,” ujar Donal kepada koran ini di Jakarta, kemarin (7/8).

Fiktif yang kedua, ada proposal masuk dengan rincian kegiatan, namun sebenarnya lembaga atau organisasi penerimanya Bansos itu tidak ada. Sudah tentu, kegiatan di lapangan juga tidak ada. “Alamatnya pun tidak jelas. Biasanya itu dimainkan satu dua orang saja yang membuat proposal yang hanya ingin cari uang saja,” terang Donal.

Di luar modus fiktif, ada satu lagi modus ‘cincai-cincai’ yang biasa dimainkan si pemberi dengan si penerima. Yakni, uang benar-benar disalurkan, namun dipotong oleh si pemberi dalam jumlah yang begitu besar. Si penerima juga mau-mau saja, asalkan dapat uang.

“Jadi uangnya disunat, dipotong, dan pemotongan itu juga masuk kategori korupsi,” urainya. Sementara, catatan koran ini, ada satu modus lagi yang biasa digunakan. Yakni proposal dibuat sendiri oleh oknum pegawai, mencatut lembaga atau ormas tertentu dan uangnya dikantongi sendiri. Dalam kasus korupsi APBD Medan yang menyeret mantan Walikota Medan Abdillah dan Wakilnya, Ramli, bahkan ada pegawai pemko tukang bikin proposal fiktif. Misal, di kwitansi penerimaan tertulis Rp100 juta, yang riil diserahkan ke penerima Rp 50 juta.

Bagaimana dengan kasus Sumut? Wakil Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi di sela-sela pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Rabu (5/8), sudah menyebut ada sekitar 233 lembaga penerima bansos yang belum memberikan pertanggungjawaban penggunaan dana bansos yang diterimanya. Total nilainya Rp 50 miliar, dari semula temuan audit BPK sekitar Rp 98 miliar.

Sedang Jampidsus Kejaksaan Agung Widyo Pramono menyebut, nilai kerugian mencapai ratusan miliar. Angka yang disebutkan Erry, mirip dengan data penerima Bansos yang beredar di kalangan wartawan. Dalam data itu, terbagi dalam dua kategori. Yang pertama, nama-nama organisasi penerimanya jelas. Setidaknya ada 40 ormas yang mendapat kucuran bansos yang nilainya hingga ratusan juta rupiah.

Ada yang Rp 75 juta (4 organisasi), Rp 100 juta (11 organisasi), Rp 150 juta (11 organisasi), Rp 200 juta (4 organisasi), Rp 250 juta (3 organisasi), Rp 300 juta (3 organisasi), dan tertinggi Rp 750 juta yang dikucurkan kepada salah satu ormas terkenal di wilayah Sumut. Ormas yang terakhir ini tercatat dua kali menerima, yang pertama Rp 750 juta, yang kedua Rp 300 juta. Sedang kategori yang kedua, yang nilainya Rp 50 juta ke bawah, tercatat ada 230 organisasi penerima. Angka 230 ini yang mendekati angka yang disebut Erry 233. Erry juga menggunakan kata “sekitar”.

Di data yang beredar itu antara lain disalurkan Rp 50 juta (184 organisasi), Rp 40 juta (11 organisasi), Rp 35 juta (1 organisasi), Rp 30 juta (15 organisasi), rp 25 juta (12 organisasi), Rp 20 juta (4 organisasi). Dan satu lagi tertulis “Org.Sosial” menerima Rp1,5 miliar. Nah, di kategori kedua inilah potensi fiktif terlihat. Pasalnya, nama-nama organisasi penerimanya hanya tertulis singkatan yang tidak terkenal. Misal ditulis LSM DH, LBK, RP, LI. LDF, GK, dan seterusnya. (gir/jhon)

ilustrasi-korupsi-bansos
Ilustrasi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Modus penggelapan kasus korupsi dana Bansos yang terjadi di sejumlah daerah sebenarnya mirip. Begitu pun yang terjadi pada kasus dana Bansos Pemprov Sumut 2011-2013 yang kini ditangani Kejaksaan Agung.

Jampidsus Kejaksaan Agung Widyo Pramono sudah menyebut, untuk kasus Sumut antara lain modusnya fiktif. Hanya saja, dia tidak menjelaskan secara detil fiktif yang dimaksud, karena menyangkut pokok materi pemeriksaan yang masih ditangani penyidik Satgassus Pemberantasan Korupsi Korps Adyaksa itu.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, membeber modus fiktif yang kerap dimainkan di sejumlah daerah. Donal yang duduk di Divisi Korupsi Politik ICW itu menyebut ada dua kategori fiktif penyaluran Bansos.

“Yang pertama, organisasinya jelas, mengajukan proposal kegiatan. Tapi begitu dana Bansos dicairkan, ternyata tidak ada kegiatan seperti yang tercantum di proposal,” ujar Donal kepada koran ini di Jakarta, kemarin (7/8).

Fiktif yang kedua, ada proposal masuk dengan rincian kegiatan, namun sebenarnya lembaga atau organisasi penerimanya Bansos itu tidak ada. Sudah tentu, kegiatan di lapangan juga tidak ada. “Alamatnya pun tidak jelas. Biasanya itu dimainkan satu dua orang saja yang membuat proposal yang hanya ingin cari uang saja,” terang Donal.

Di luar modus fiktif, ada satu lagi modus ‘cincai-cincai’ yang biasa dimainkan si pemberi dengan si penerima. Yakni, uang benar-benar disalurkan, namun dipotong oleh si pemberi dalam jumlah yang begitu besar. Si penerima juga mau-mau saja, asalkan dapat uang.

“Jadi uangnya disunat, dipotong, dan pemotongan itu juga masuk kategori korupsi,” urainya. Sementara, catatan koran ini, ada satu modus lagi yang biasa digunakan. Yakni proposal dibuat sendiri oleh oknum pegawai, mencatut lembaga atau ormas tertentu dan uangnya dikantongi sendiri. Dalam kasus korupsi APBD Medan yang menyeret mantan Walikota Medan Abdillah dan Wakilnya, Ramli, bahkan ada pegawai pemko tukang bikin proposal fiktif. Misal, di kwitansi penerimaan tertulis Rp100 juta, yang riil diserahkan ke penerima Rp 50 juta.

Bagaimana dengan kasus Sumut? Wakil Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi di sela-sela pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Rabu (5/8), sudah menyebut ada sekitar 233 lembaga penerima bansos yang belum memberikan pertanggungjawaban penggunaan dana bansos yang diterimanya. Total nilainya Rp 50 miliar, dari semula temuan audit BPK sekitar Rp 98 miliar.

Sedang Jampidsus Kejaksaan Agung Widyo Pramono menyebut, nilai kerugian mencapai ratusan miliar. Angka yang disebutkan Erry, mirip dengan data penerima Bansos yang beredar di kalangan wartawan. Dalam data itu, terbagi dalam dua kategori. Yang pertama, nama-nama organisasi penerimanya jelas. Setidaknya ada 40 ormas yang mendapat kucuran bansos yang nilainya hingga ratusan juta rupiah.

Ada yang Rp 75 juta (4 organisasi), Rp 100 juta (11 organisasi), Rp 150 juta (11 organisasi), Rp 200 juta (4 organisasi), Rp 250 juta (3 organisasi), Rp 300 juta (3 organisasi), dan tertinggi Rp 750 juta yang dikucurkan kepada salah satu ormas terkenal di wilayah Sumut. Ormas yang terakhir ini tercatat dua kali menerima, yang pertama Rp 750 juta, yang kedua Rp 300 juta. Sedang kategori yang kedua, yang nilainya Rp 50 juta ke bawah, tercatat ada 230 organisasi penerima. Angka 230 ini yang mendekati angka yang disebut Erry 233. Erry juga menggunakan kata “sekitar”.

Di data yang beredar itu antara lain disalurkan Rp 50 juta (184 organisasi), Rp 40 juta (11 organisasi), Rp 35 juta (1 organisasi), Rp 30 juta (15 organisasi), rp 25 juta (12 organisasi), Rp 20 juta (4 organisasi). Dan satu lagi tertulis “Org.Sosial” menerima Rp1,5 miliar. Nah, di kategori kedua inilah potensi fiktif terlihat. Pasalnya, nama-nama organisasi penerimanya hanya tertulis singkatan yang tidak terkenal. Misal ditulis LSM DH, LBK, RP, LI. LDF, GK, dan seterusnya. (gir/jhon)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/