25.6 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Sumut = Semua Urusan Mesti Uang Tunai jadi Mindset

Suap-Ilustrasi
Suap-Ilustrasi

SUMUTPOS.CO – Pengamat sosiologi politik, Sabar Sitanggang, mengaku tidak heran jika Sumut dalam empat tahun terakhir selalu berada di posisi teratas daftar provinsi terkorup. Dia menilai, banyak hal yang menjadi penyebab praktik korupsi di Sumut tidak kunjung berkurang. Salah satunya, sindiran kepanjangan Sumut yakni, ‘Semua Urusan Mesti Uang Tunai’.

“Semua mesti uang tunai, itu sindiran yang sudah begitu lama, dan kini menjadi mindset, tak gampang menghilangkan mindset itu,” ujar Sabar Sitanggang di Jakarta, Senin (16/11).

Doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, istilah ‘Semua Urusan Mesti Uang Tunai (Sumut)’ itu telah berubah menjadi pola pikir sebagian besar orang Sumut. “Karena itu, praktik korupsi begitu permisif di Sumut,” ujarnya.

Hal lain yang mendorong para pejabat di Sumut menyelewengkan dana APBD, antara lain karena sistem kekerabatan yang masih kuat. Jika seseorang menjadi pejabat, maka saudara-saudara dekat ingin ingin menikmati, lantas terjadi penyelewengan pengelolaan uang APBD.

“Seperti saya, Sitanggang, itu ada sekitar 90-an parna. Itu semua kerabat, orang-orang dekat. Susah bagi pejabat menolak ketika mereka datang. Ujung-ujungnya ngakali bansos,” kata Sabar.

Namun diakui, masalah mendasar adalah karena lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan keuangan. Pasalnya, lembaga pengawas dalam hal ini DPRD, merupakan bagian dari jaringan yang korup itu.

Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronal Rofiandi mengatakan, serangkaian kasus yang menjerat Gubsu nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan melibatkan sejumlah anggota DPRD, merupakan bentuk korupsi politik.

“Korupsi politik itu selalu terkait dengan modal menjadi calon kepala daerah dan modal menjadi calon legislatif. Bansos hanya salah satu yang dimainkan,” ujar Ronal kepada koran ini kemarin.

Anggota Koalisi Anti Mafia Anggaran itu mengatakan, selain bansos, biasanya mereka juga mencari modal politik dari proyek-proyek, gratifikasi, dan bahkan biaya perjalanan dinas.

Jadi, menurut Ronal, selama pelaksanaan pilkada dan pileg masih menguras kantong para calon, maka selama itu pula korupsi politik akan terus terjadi.

“Dan itu bukan hanya fenomena di Sumut. Di banyak daerah juga terjadi,” kata Ronal.

Diberitakan sebelumnya, sejak 2012 hingga 2015 Sumut selalu menempati posisi teratas daftar daerah terkorup berdasar kajian sejumlah lembaga pemerhati penyelewengan uang rakyat.

Suap-Ilustrasi
Suap-Ilustrasi

SUMUTPOS.CO – Pengamat sosiologi politik, Sabar Sitanggang, mengaku tidak heran jika Sumut dalam empat tahun terakhir selalu berada di posisi teratas daftar provinsi terkorup. Dia menilai, banyak hal yang menjadi penyebab praktik korupsi di Sumut tidak kunjung berkurang. Salah satunya, sindiran kepanjangan Sumut yakni, ‘Semua Urusan Mesti Uang Tunai’.

“Semua mesti uang tunai, itu sindiran yang sudah begitu lama, dan kini menjadi mindset, tak gampang menghilangkan mindset itu,” ujar Sabar Sitanggang di Jakarta, Senin (16/11).

Doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, istilah ‘Semua Urusan Mesti Uang Tunai (Sumut)’ itu telah berubah menjadi pola pikir sebagian besar orang Sumut. “Karena itu, praktik korupsi begitu permisif di Sumut,” ujarnya.

Hal lain yang mendorong para pejabat di Sumut menyelewengkan dana APBD, antara lain karena sistem kekerabatan yang masih kuat. Jika seseorang menjadi pejabat, maka saudara-saudara dekat ingin ingin menikmati, lantas terjadi penyelewengan pengelolaan uang APBD.

“Seperti saya, Sitanggang, itu ada sekitar 90-an parna. Itu semua kerabat, orang-orang dekat. Susah bagi pejabat menolak ketika mereka datang. Ujung-ujungnya ngakali bansos,” kata Sabar.

Namun diakui, masalah mendasar adalah karena lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan keuangan. Pasalnya, lembaga pengawas dalam hal ini DPRD, merupakan bagian dari jaringan yang korup itu.

Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronal Rofiandi mengatakan, serangkaian kasus yang menjerat Gubsu nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan melibatkan sejumlah anggota DPRD, merupakan bentuk korupsi politik.

“Korupsi politik itu selalu terkait dengan modal menjadi calon kepala daerah dan modal menjadi calon legislatif. Bansos hanya salah satu yang dimainkan,” ujar Ronal kepada koran ini kemarin.

Anggota Koalisi Anti Mafia Anggaran itu mengatakan, selain bansos, biasanya mereka juga mencari modal politik dari proyek-proyek, gratifikasi, dan bahkan biaya perjalanan dinas.

Jadi, menurut Ronal, selama pelaksanaan pilkada dan pileg masih menguras kantong para calon, maka selama itu pula korupsi politik akan terus terjadi.

“Dan itu bukan hanya fenomena di Sumut. Di banyak daerah juga terjadi,” kata Ronal.

Diberitakan sebelumnya, sejak 2012 hingga 2015 Sumut selalu menempati posisi teratas daftar daerah terkorup berdasar kajian sejumlah lembaga pemerhati penyelewengan uang rakyat.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/